Nahdlatul Wathan
Sejarah Nahdlatul Wathan dan Jejak Perjuangan Maulana Syekh TGKH Muhammad Zanuddin Abdul Madjid
TGKH Muhammad Zanuddin Abdul Madjid memulai dakwahnya di Lombok usai menuntut ilmu di Makkah. Sebelum NW lahir dia mendirikan pesantren Al-Mujahidin.
TRIBUNLOMBOK.COM - Eksistensi organisasi Nahdlatul Wathan (NW) maupun Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) saat ini tidak lepas dari jejak perjuangan pendirinya, Maulana Syekh TGKH Muhammad Zanuddin Abdul Madjid.
Organisasi Nahdlatul Wathan hingga kini menjadi salah satu organisasi berpengaruh, khususnya masyarakat bumi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menjadi daerah basis gerakan.
Para santri jebolan Nahdlatul Wathan banyak menjadi pendakwah, mendirikan madrasah dan pondok-pondok pesantren untuk meneruskan dakwah pendirinya Maulana Syekh TGKH Muhammad Zanuddin Abdul Madjid.
Tidak hanya itu, banyak santri NW/WNDI yang kini menjadi aktor pembangunan di tengah masyarakat, baik mereka yang duduk di legislatif maupun yang menjadi eksekutif. Termasuk posisi gubernur dan wakil gubernur NTB diisi santri Nahdlatul Wathan.
Eksistensi para santri Nahdlatul Wathan saat ini sekaligus mencerminkan perjuangan pendiri organisasi ini Maulana Syekh TGKH Muhammad Zanuddin Abdul Madjid.
Baca juga: Sejarah Berdirinya Organisasi NWDI, Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah di Lombok
Selain konsisten melakukan dakwah Islam, pada saat bersamaan ikut menjadi bagian dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Jejak Muhammad Zainuddin Muda

Dikutip dari situs resmi nwdi.or.id, TGKH Muhammad Zanuddin Abdul Madjid memulai dakwahnya di Lombok setelah pulang menuntut ilmu di Makkah, Arab Saudi.
Pada tahun 1934, Muhammad Zainuddin muda menyelesaikan studinya di Madrsah As-Shaulatiyyah, Makkah dan pulang ke Lombok.
Muhammad Zainuddin muda langsung mendirikan pesantren Al-Mujahidin.
Al-Mujahidin berarti “para pejuang” sebagai bentuk manifestasi Muhammad Zainuddin melihat kondisi bangsanya yang dijajah Belanda kala itu.
Nama pesantren ini juga sama dengan nama kelompok perjuangan yang dipimpin Pendiri Madrasah al-Shaulatiyah, Syeikh Rahmatullah al-Hindi.
Baca juga: Bacaan Sholawat Hikmah Nahdlatul Wathan, Tulisan Arab Lengkap dengan Lafaz dan Arti
Sebelum bermukim di Makkah, Syekh Rahmatullah merupakan seorang revolusioner penentang penjajahan Inggris di India.
Semangat perjuangan Syekh Rahmatullah ini menjadi inspirasi bagi Muhammad Zainuddin muda melihat kondisi bangsanya yang sedang terjajah dan terbelakang.
Pesantren Al-Mujahidin yang didirikan, selain untuk menyebarkan agama Islam juga untuk melawan penjajah.
Selanjutnya, pesantren ini berkembang menjadi Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) yang memiliki arti gerakan kebangsaan.
Madrasah NWDI didirikan tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 Hijriah/22 Agustus 1937 Masehi.
Enam tahun kemudian TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid muda mendirikan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) yang berarti gerakan kaum perempuan.
Madrasah NBDI berdiri tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 Hijriah/21 April 1943 Masehi, di Pancor Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Muhammad Zainuddin muda cepat mendapatkan pengaruh di masyarakat, dengan kemampuan dan moralitas yang ditunjukkan.
Masyarakat Pancor mempercayaikannya sebagai imam dan khatib salat Jumat di Masjid Jami’ Pancor.
Sosok Muhammad Zainuddin sebagai anak muda alim yang memiliki integritas, keilmuan, serta perjuangan yang dilakukan membuat masyarakat memberikannya gelar dengan sebutan Tuan Guru Bajang (TGB) yang artinya tuan guru muda.
Pada akhirnya seiring perjalanan waktu dipanggil dengan sebutan Maulana Syekh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.
Masyarakat memintanya memberikan pengajian di Masjid Jami’ Pancor secara rutin.
Pengajian ini dihadiri masyarakat luas, bahkan para tuan guru, seperti Tuan Guru Haji Abu Bakar Sakra, Abu Atikah, TGH Azhar Rumbuk, Raden TGH Ibrahim Sakra, bahkan TGH Syarafuddin Pancor yang pernah mengajarnya selalu hadir dalam pengajian.
Umat Islam dari luar daerah, salah satunya yang dikenal adalah Haji Ahmad Jemberana dari Bali.
Kitab–kitab yang dikaji dalam pengajian tersebut adalah kitab Minhâj ath-Thâlibîn, Jam’al-Jawâmi’, Qathr an-Nada’, Tafsîr al-Jalâlain serta kitab–kitab fiqih dan tafsir yang lain.
Permohonan pengajian–pengajian umum di berbagai pelosok daerah Lombok berdatangan.
Sebanyak 14 masjid sebagai tempat pengajian umum, antara lain Masjid Jami’ Pancor, Masbagik, Sikur, Terara, Aikmel, Kalijaga, Wanasaba, Tanjung Teros, Sakra, Gerumus, Pringga Jurang, Kopang, Mantang, Praya dan lainnya.
Bahkan sejumlah tempat yang tidak bisa dihadiri TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid karena keterbatasan waktu.
Hingga saat ini, jumlah madrasah Nahdlatul Wathan terus berkembang, tidak hanya di NTB tetapi juga di sejumlah daerah di Indonesia.
Berkat perjuangannya selama masa kemerdekaan, tahun 2017 lalu Presiden Republik Indonesia Joko Widodo memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional ini berdasarkan surat Keputusan Presiden Nomor:115/TK/Tahun 2017 tanggal 9 November 2017.
(*)