Politik NTB
Majelis Adat Sasak Gelar 'Sangkep Beleq', Akan Bahas Konsolidasi Pencalonan untuk Pilkada NTB 2024?
Majelis Adat Sasak atau yang disingkat MAS akan menggelar acara 'Sangkep Beleq' atau 'Rapat Besar' pada 17-18 Desember 2022 mendatang.
Penulis: Lalu Helmi | Editor: Robbyan Abel Ramdhon
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Lalu Helmi
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Majelis Adat Sasak atau yang disingkat MAS akan menggelar acara 'Sangkep Beleq' atau 'Rapat Besar' pada 17-18 Desember 2022 mendatang.
Acara yang digagas sesepuh bangsa Sasak di Pulau Lombok ini belakangan ramai mendapatkan atensi publik.
Sejumlah tokoh bahkan terpantau memberi ucapan selamat atas akan terselenggaranya kegiatan itu.
Adapun sejumlah tokoh politik turut diundang. Di antaranya Gubernur NTB Zulkieflimansyah, Wakil Gubernur NTB Hj Sitti Rohmi Djalilah, Bupati Lombok Timur Sukiman Azmi, Wali Kota Mataram Mohan Roliskana.
Baca juga: TGB Minta DPW Partai Perindo NTB Temui Masyarakat dan Jaring Bacaleg Pemilu 2024 Potensial
Bupati Lombok Tengah HL Pathul Bahri, Mantan Bupati Lombok Tengah Suhaili, Bupati KLU Djohan Syamsu, Dubes RI untuk Turki Lalu Muhammad Iqbal, anggota DPR RI H Rachmat Hidayat dan sejumlah tokoh politik NTB.
Tidak hanya mendapat atensi, tetapi sejumlah spekulasi liar berkembang tentang Sangkep Beleq.
Salah satunya isu konsolidasi kekuatan suku Sasak untuk mengusung satu figur pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2024. Benarkah?
“Itu pendapat yang salah,” tegas Ketua Pelaksana Sangkep Beleq 5 HL Sajim Sastawan, pada Rabu (14/12/2022).
Baca juga: Partai Perindo Kecam Bom Bandung, TGB: Tidak Boleh Ada Ruang untuk Terorisme di Indonesia
Pendapat keliru itu berkembang liar dan menurutnya perlu diluruskan.
Pada dasarnya Sangkep Beleq merupakan acara rutin lima tahunan yang diadakan MAS untuk kepentingan koordinasi, konsolidasi, dan menjaga soliditas organisasi.
“Dan juga ada semangat inklusifitas yang kita dorong saat ini,” terangnya.
Diungkapkan Sajim, Sangkep Beleq yang ke 5 saat ini berangkat dari realita yang mana bangsa Sasak kerap dianggap sebagai milik kelompok tertentu.
Asumsi ini yang ingin diubah bahwa semua orang yang hidup di pulau Lombok harusnya dapat menerima adat Sasak sebagai bagian dalam hidupnya.
“Termasuk mereka yang telah tinggal puluhan tahun di sini,” tekannya.