Menjawab Isu Kesehatan Jiwa, Yakkum Hadirkan Sarasehan Bersama Tokoh Lintas Agama di Lombok
Sarasehan Isu Kesehatan Jiwa bersama Tokoh Lintas Agama sendiri dihadirkan Yakkum bersama Black Dog Institute dan Emotional Health For All di Lombok.
Penulis: Jimmy Sucipto | Editor: Maria Sorenada Garudea Prabawati
Banyaknya jumlah orang yang mengalami depresi dan angka kasus bunuh diri yang semakin meningkat selama pandemi ini tentu merupakan kondisi yang memprihatinkan.
Ini menunjukkan betapa luasnya masalah ini. Namun, yang jauh lebih memprihatinkan adalah jika masyarakat tidak merespon dengan mengambil langkah-langkah untuk menunjukkan kasih sayang dan keberpihakan pada mereka yang berhadapan dengan depresi dan pemikiran bunuh diri.
Karena berbagai stigma keagamaan di Indonesia yang terkait dengan bunuh diri, banyak individu yang tidak sadar ketika mengalami depresi, tidak terbuka untuk berbicara tentang masalah yang dialami atau segan untuk mencari bantuan.
Jika kita ingin sungguh-sungguh mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang kuat, maka masalah -masalah kesehatan jiwa tersebut perlu segera disikapi, tandas Sandersan Onie.
Edduwar Idul Riyadi dari Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Kesehatan Jiwa dan NAPZA (Ditjen P2MKJN) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengingatkan bahwa stigma dan diskriminasi pada orang dengan masalah kejiwaan adalah salah satu tantangan terbesar yang harus disikapi.
Juga para pemimpin agama punya peran utama untuk mengurangi stigma terhadap Orang Dengan Masalah Kejiwaan.
Baca juga: Pengadilan Agama Selong Tolak Dispensasi Kawin Anak Usia 16 dan 17 Tahun
“Di Nahdlatul Ulama, kami sudah memutuskan dalam Muktamar PBNU bahwa tidak lagi menyebut Orang Dengan Masalah Kesehatan Jiwa dengan Majnun (orang gila) namun kami mengganti dengan Muqtala (Orang Yang Sedang Dalam Cobaan),” Sarmidi, Katib Syuriyah PBNU menyampaikan dalam sarasehan ini.
Statement tersebut diperkuat dengan statement I Wayan Sianto, Ketua Walubi Provinsi Nusa Tenggara Barat.
“Masalah Kesehatan Jiwa bukanlah hal yang memalukan, lingkungan dan keluarga berperan untuk mendampingi orang dengan masalah kesehatan jiwa, karena keluarga adalah benteng,” kata Sianto.
Adapun di Komisi Keluarga Waligereja Indonesia, mereka memiliki panduan bagi keluarga untuk mendampingi disabilitas.
Ada perubahan paradigma dimana orang dengan masalah kesehatan jiwa dan bunuh diri dianggap dosa.
“Saat ini Gereja Katolik telah mengubah perspektif tersebut dengan belas kasih dan penderitaan yang menyelamatkan. Bagaimana orang dengan masalah kesehatan jiwa dibantu untuk memiliki pengharapan,” Y. Aristanto, Komisi Waligereja Indonesia menambahkan.
Sarasehan ini bertujuan untuk mempertemukan para pemimpin dan tokoh agama untuk merefleksikan sikap dan pandangan mereka terhadap masalah kesehatan jiwa dan bunuh diri.
Selain itu menyadari peran kunci pemimpin agama dalam mencari solusi komprehensif bagi masalah kesehatan jiwa.
Pertemuan ini juga dimaksudkan untuk menyusun rangkaian rekomendasi dan seruan pada berbagai pihak yang termaktub dalam Deklarasi Nasional Tokoh dan Pemimpin Agama untuk Kesehatan Jiwa dengan memanfaatkan momentum presidensi Indonesia untuk G20 tahun 2022.