Opini

Tuan Guru Bajang: Kacamata Agama dan Negara

Sebagaimana yang sering ia sampaikan, "keindonesian dan keagamaan berada dalam satu tarikan nafas".

Editor: Lalu Helmi
TRIBUNLOMBOK.COM/LALU HELMI
Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi: Gubernur NTB (2008 - 2018), Ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA) Cabang Indonesia, dan Ketua Umum NWDI. 

"Jika ada tradisi atau kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlaku di masyarakat, silakan ukur dengan ukuran syariat," kata Wakil Komisaris Utama Bank Syariah Indonesia itu.

TGB mengingatkan pentingnya menilik persoalan ini secara jeli. Sebab, tak semua produk budaya yang telah tumbuh mengakar itu buruk.

"Kalau wayang itu adalah suatu medium dengan tokoh-tokohnya itu mencerminkan, katakanlah suatu kisah pertarungan antara haq dan batil. Lalu terakhir yang menang adalah yang hak, yang batil itu walaupun dia kuat dan hebat tetapi dia jatuh, kalah. Apa artinya, berarti itu bisa menjadi medium dakwah," ujar mantan anggota DPR RI itu.

TGB mengingatkan, jika terdapat praktik yang kurang baik dalam budaya di masyarakat, hal itulah yang mestinya diperbaiki. Tak boleh ada klaim yang dapat memantik timbulnya gesekan di masyarakat.

Untuk soal kedua, pandangan TGB tak kalah teduh. Ia menekankan pentingnya menganut prinsip imparsialitas. Artinya rata, seimbang, adil, dan tidak memihak. TGB yang pernah dinobatkan sebagai gubernur termuda di Indonesia ini menyebutkan pengeras suara tak hanya dipakai di masjid. Melainkan pada rumah ibadah agama lain.

Ada momen-momen di mana acara ritual keagamaan itu juga mengeluarkan suara yang cukup besar. Jangan sampai menimbulkan kesan bahwa seakan-akan yang berpotensi mengganggu ketenangan dan ketentraman itu hanya suara yang keluar dari masjid dan musala.

Tak hanya itu, pengeras suara masjid, ujar TGB memliki fungsi sosial budaya. Tidak hanya azan, iqamat, dan mengaji. Di banyak tempat di Indonesia, masyarakat menjadikan masjid sebagai sentral kegiatan.

Tuan Guru Bajang selalu datang membawa jawaban. Di tengah makin sempitnya pengharapan.

TGB tidak hadir dan muncul dengan tangan kosong. Kemampuannya mentransformasikan penerapan nilai keislaman yang moderat dalam konteks kebangsaan tak banyak dimiliki orang.

TGB satu dari sedikit ulama yang sukses menjadi umara. Juga satu dari tak banyak umara yang memiliki kompetensi sebagai ulama.

Pengetahuan keagamaannya luas. Kemampuan kepemimpinannya teruji.

Tuan Guru Bajang: Lima Kunci Mengokohkan Negeri

Dalam sebuah tabligh akbar di Kota Surabaya, TGB menyebutkan setidaknya terdapat lima kunci yang menjadi syarat kokohnya negeri.

Pertama, Ad-din (agama), kata TGB merupakan aspek menyatukan dan mendekatkan satu sama lain. Memiliki perasaan senasib, innamal mukminuna ikhwatun. Agama menjadi pengokoh negara. Tidak boleh ada anggapan agama itu melemahkan negara. Justru agama membuat individu di suatu bangsa menjadi dekat.

"Agama menjadi pondasi yang di atasnya bisa dibangun segala kebaikan," bebernya.

Yang kedua, an-nasab (keturunan), kekerabatan membuat dekat antar insan. Seseorang bisa lebih dekat dengan saudaranya dibanding orang lain, membela saudaranya lebih dari orang lain.

Ketiga, al-mushaharah (besan). Ada orang menikahkan anaknya dengan seseorang yang jauh, menjadi sebab yang jauh menjadi dekat. Pernikahan menjadi sebab keluarga yang tidak saling mengenal menjadi kokoh dan bersaudara.

Keempat, al-mawaddah (rasa sayang). Rasa ini muncul dengan sendirinya. Rasa sayang ini bisa dirancang agar saling mencintai. Seperti ketika rasul mempersaudarakan antara Kaum Ansar dan Kaum Muhajirin. Awalnya tidak asling mengenal, dan memiliki latar belakang berbeda.

Dengan rasa sayang, sambung TGB, kemudian memunculkan pengorbanan demi satu cita-cita. Muncul rasa saling sepenanggungan, satu visi, satu cita cita, satu perjuangan, satu obsesi, satu perjuangan yang kemudia diikat dalam komitmen.

Baca juga: Tuan Guru Bajang Mendorong Pemerintah Bangun Kemitraan Strategis dengan Ormas Keagamaan

Kelima ialah al-birru (amal kebajikan). Dijelaskan, ini diberikan kepada bangsa dan umat yang membuat satu sama lain kian kokoh. ImaMawardi mengawali dengan ad-din dan diakhiri dengan al-birru Menjadi benteng mengokohkan negeri, segala macam kemaksiatan maupun hal buruk akan lemah.

Ibarat sedang berlayar di atas perahu, kata TGB tidak boleh ada ruang bagi siapapun yang melubangi perahu agar perahu itu karam. Harus dipastikan, setiap sudut perahu dirawat dengan ad-din, an-nasab, al-mushaharah, al-mawaddah, dan al-birru.

Agama dan negara, dari kacamata TGB bisa menjalin hubungan yang harmonis. Simetris, tidak dikotomis. Cara merawat keberagaman di dalamnya adalah dengan memperbanyak perjumpaan, dialog.

Ketika ikatan kebangsaan mulai kendor, harus diperkuat dengan memperbanyak pertemuan. Menukil pendapat ulama, TGB menyitir bahwa  pohon persaudaraan itu pupuknya adalah saling bertemu. Ketika pohon itu kering, segera disiram.

"Kita perkuat ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah," ajaknya saat mengisi tausyiah di pendopo Bupati Sumenep.

Langkah ini dahulu dilakukan TGB dengan membuat sekolah perjumpaan. Beragam agama dan golongan sering bertemu dan berbincang. Pertemuan yang kemudian mempererat hubungan hubungan di NTB. Perjumpaan diakuinya sebagai salah satu resep mujarab merawat hubungan.

Tuan Guru Bajang selalu berusaha memberi jalan tengah. Dan dia sejatinya adalah jalan tengah itu sendiri.

(*)

Sebagian dari subtansi dan kisah dalam tulisan ini direduksi dari buku karangan Muhammad Syaiful Islam Febriantara Putra, penulis asal Kota Mataram berjudul 1) Dakwah Nusantara Tuan Guru Bajang Islam Wasathiyah; 2) Tuan Guru Bajang dan Covid-19.

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved