Sejarah Tambora 

Kerajaan Tambora Lenyap Ditelan Lautan Abu dan Pasir Letusan Gunung

Muntahan Gunung Tambora menyapu dan memusnahkan kerajaan Pekat, Tambora, dan Sanggar. Kerajaan Sumbawa dan Bima juga terdampak hebat.

Penulis: krisnasumarga | Editor: krisnasumarga
Tribunlombok.com/Setya Krisna Sumarga
JALUR PIONG - Rute menuju ke puncak timur Gunung Tambora dari Kecamatan Sanggar, Kabupaten Bima sangat panjang melewati sabana maha luas. 

Di Lampung, Telukbetung dan distrik Semangka terputus. Kekuasaan kolonialis Belanda juga terputus dan tak berdaya mengatasi keadaan sesudah Krakatau mengamuk.

Di Banten, bandar ramai di Anyer hancur, dan dipindahkan ke Cilegon yang bertahan hingga sekarang. Kehancuran hebat diderita Lampung dan Bengkulu, tapi Anyer lah yang paling hebat.

Pemberontakan petani –lebih tepatnya pemberontakan social-- di Banten selatan merupakan dampak ikutan kegersangan dan kesulitan ekonomi sesudah erupsi dan tsunami hebat di Selat Sunda.

Fanatisme keagamaan akibat frustrasi sosial juga turut mempengaruhi lahirnya gerakan tersebut, yang akhirnya bisa ditumpas menggunakan tangan besi.

Tim Kecil ke Puncak Tambora
TIM KECIL - Hanya berempat, penulis bersama tiga warga Bima yang menemani pendakian ke puncak Gunung Tambora 4-5 Januari 2022 via jalur Piong, Kecamatan Sanggar.

“Bencana seperti letusan Tambora dan Krakatau menyadarkan manusia betapa kecilnya mereka, tak berdaya di tengah kegaiban jagat yang mampu menggerakkan kekuatan raksasa yang sangat katastrofal,” tulis AB Lapian.

Situasi itu dimanfaatkan orang-orang tertentu untuk membakar sentiment. Dunia yang hancur itu diyakinkan sebagai pertanda kimat akan datang.

Di situlah “Manifesto Banten” muncul sebagai pendorong aksi pemberontakan selanjutnya, yang terjadi kurang dari setahun sesudah gunung Krakatau meledak.

Ahli sejarah terkenal Prof Dr Sartono Kartodirjo menguraikan secara jernih episode itu dalam disertasinya yang dibukukan menjadi “Pemberontakan Petani Banten 1888”.

Penggalan kisah menarik diuraikan AB Lapian, seperti dua peristiwa yang agak parallel. Jika debu vulkanik Krakatau  menyebar jauh ke berbagai pulau dan wilayah, pelaku pemberontakan Banten yang dipadamkan, juga disebar ke banyak tempat.

Total ada 94 pelaku hidup yang kemudian menerima hukuman pengasingan. Ada 19 dibawa ke Padang, 8 ke Manado dan Banda. Tujuh orang ke Kupang, 6 ke Gorontalo dan Ambon.

Lima orang ke Bengkulu, masing-masing 4 orang ke Tondano, Kema, Ternate, Muntok dan Fort de Kock di Bukittinggi.

Tiga orang ke Saparua, 2 ke Selayar, Maros, Bantaeng, dan Pariaman. Masing-masing satu orang ke Pacitan, Balanipa, Payakumbuh dan Padangsidempuan.

Para “petempur” yang berusaha melawan kolonialis itu ditebarkan ke segala penjuru Nusantara, seperti sebaran debu vulkanik gunung Krakatau yang meledak tiga atau empat tahun sebelumnya. (Tribunlombok.com/Setya Krisna Sumarga)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved