Sejarah Tambora
Kerajaan Tambora Lenyap Ditelan Lautan Abu dan Pasir Letusan Gunung
Muntahan Gunung Tambora menyapu dan memusnahkan kerajaan Pekat, Tambora, dan Sanggar. Kerajaan Sumbawa dan Bima juga terdampak hebat.
Penulis: krisnasumarga | Editor: krisnasumarga
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – Ahli sejarah Adrian B Lapian dalam artikel “Bencana Alam dan Penulisan Sejarah : Krakatau 1883 dan Cilegon 1888) menulis, Kerajaan Tambora lenyap ditelan lautan saat gunung berapi Tambora meletus 1815.
Saat malapetaka dahsyat itu terjadi, ada enam kerajaan berkuasa di sekeliling gunung itu. Ada Kerajaan Dompu (10.000 penduduk, Tambora (6.000 penduduk), Sanggar (2.200 penduduk), dan Papekat/Pekat (2.000 penduduk).
Muntahan gunung Tambora menyapu dan memusnahkan keempatnya. Tersisa Kerajaan Sumbawa dan Kerajaan Bima, meski menderita berat sesudahnya. Negeri Tambora menurut AB Lapian ditelan lautan abu dan air.
“Sampai sekarang kapal boleh berlabuh di mana saja di bekas negeri Tambora adanya,” tulisnya mengutip penelitian orientalis Henry Chambert-Loir (1982). Dua pusat kerajaan lain, Pekat dan Sanggar, bernasib buruk, bubar ditinggalkan penduduknya yang selamat.
Baca juga: Gulungan Api Raksasa Tambora Menyapu Segala Penjuru Gunung
Baca juga: Tanda-tanda Letusan Gunung Tambora Muncul Tiga Tahun Sebelum April 1815
Baca juga: Heinrich Zollinger, Orang Pertama yang Mendaki Tambora Sesudah Meletus Hebat
Lapian berpendapat, bencana alam memang sangat mempengaruhi eksistensi kekuasaan di masa lampau. Terutama terkait perubahan letak pusat kerajaan pada masa itu sesudah bencana.
Kerajaan Dompu yang semula berpusat di Doro Bata, bangkit sesudah letusan Tambora dan mendirikan kekuasaan di sebelah utara sungai. Sekarang letaknya di Mashid Raya Dompu.

Di Mataram Kuna, sejumlah ahli sejarah mengemukakan pusat kekuasaan berpindah dari Jawa bagian tengah ke Jawa bagian timur oleh sebab petaka alam tahun 1006 Masehi.
Geolog van Bemellen dan sejarawan Boechari menunjuk letusan dahsyat Gunung Merapi abad XI memaksa Pu Sindok berpindah ke timur.
Namun hipotesis ini belakangan dimentahkan hasil penelitian geolog Sri Andreastuti dkk. Menurut penelitian itu, tidak ada jejak letusan dahsyat Merapi pada 1006 M.
Kisah-kisah rakyat (folklore) dalam arus perjalanan sejarah Nusantara, kerap bercampur aduk dengan peristiwa-peristiwa alam hebat, seperti gempa dan letusan gunung berapi ini.
Ada banyak karya-karya sastra kuna yang menuliskan cerita itu. Mitos dan legenda itu bertahan lama, dan banyak yang mempercayainya.
Umumnya mengaitkan peristiwa amuk alam itu dengan pelanggaran-pelanggaran sosial akut yang dilakukan para elitenya.
Peristiwa Tambora dalam folklore diyakini gara-gara perlakukan kejam elite kerajaan Papekat dan Tambora terhadap Haji Mustafa, seorang mursyid yang dikeramatkan.
Demikian pula di peristiwa letusan Krakatau, karya sastra Muhammad Saleh yang dikenal dengan sebutan “Syair Lampung Karam”, mengaitkan peristiwa itu dengan tulah terhadap kolonialis Belanda yang menguasai Masjid Agung Kutaraja.
Letusan akbar Gunung Krakatau pada 1883 menurut AB Lapian juga sangat mempengaruhi kondisi sosial ekonomi, budaya dan politik di Lampung dan Banten.