Perdagangan Orang di NTB
Satu Korban TPPO Dibeli Rp 125 Juta, Pemalsu Alamat Belum Dijerat
Para tekong juga memanfaatkan keluarga terdekat untuk membujuk calon buruh migran supaya mau dikirim ke luar negeri.
Penulis: Sirtupillaili | Editor: Wulan Kurnia Putri
”Salah satu modus yang kita ungkap adalah pemalsuan (identitas), sebagian besar begitu,” katanya.
Dengan memalsukan identitas korban, agen dengan mudah mengirim mereka ke luar negeri.
Sebab negara tujuan memiliki standar usia para pekerja. Misalnya Singapura, hanya mereka yang berusia 25 tahun boleh bekerja.
”Ketika warga kita yang mau bekerja di luar negeri kurang dari 25 tahun, salah satu caranya mereka menambah usia sebagai syarat administrasi,” ungkapnya.

Dalam proses penyelidikan, pemalsuan identitas korban TPPO paling sering ditemukan.
Namun demikian, kepolisian belum mengungkap siapa oknum-oknum yang membantu para tekong atau agen memalsukan identitas korban.
”Tidak semua dari institusi atau aparat, tetapi bisa kami temukan,” katanya.
Pihaknya sejauh ini belum menemukan fakta keterlibat oknum-oknum dalam pemalsuan identitas korban.
Pengungkapan perdagangan orang, lanjut Pujawati, polisi berpedoman pada Pasal 10 dan 11, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO.
Para pihak yang dijerat adalah mereka yang ikut merencanakan dan bermufakat untuk melakukan TPPO.
”Mereka yang merekrut, memindahkan, menampung, dan mengeksploitasi, orang-orang itu yang kemudian bisa terkait dalam perkaraTPPO,” jelasnya.
Menurut Pujawati, jaringan yang terlibat dalam TPPO cukup banyak.
Pelakunya tidak cuma satu sindikat, tetapi banyak kelompoknya. ”Pemainnya beda-beda, banyak sekali,” katanya.
Hal itu sejalan dengan banyaknya perusahaan pengerah tenaga kerja dan tekong lapangan yang merekrut calon pekerja.
Baca juga: Tekong Kongkalikong dengan Oknum Petugas Camat hingga Dukcapil
Provinsi NTB merupakan salah satu kantong pekerja migran Indonesia.