Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Restorative Justice Kasus Pencabulan oleh Mantan DPRD NTB

Koalisi Masyarakat Sipil NTB menentang rencana Polresta Mataram menghentian kasus dugaan pencabulan anak kandung oleh AA (65), mantan anggota DPRD NTB

Dok. Koalisi Masyarakat Sipil
KASUS PENCABULAN: Koalisi Masyarakat Sipil NTB menggelar pertemuan menyikapi rencana penghentian kasus dugaan pencabulan anak kandung oleh mantan anggota DPRD NTB, Minggu (14/3/2021). 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Sirtupillaili

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – Koalisi Masyarakat Sipil NTB menentang rencana Polresta Mataram menghentian kasus dugaan pencabulan anak kandung oleh AA (65), mantan anggota DPRD NTB.

Koalisi ini terdiri dari Relawan Sahabat Anak, LPA Kota Mataram, PBH Mangandar, BKBH Fakultas Hukum Universitas Mataram, dan Solidaritas Perempuan Mataram.

Mereka menentang kasus tersebut diselesaikan melalui ‘restorative justice’ atau keadilan restoratif.

”Koalisi secara tegas menentang rencana penerapan keadilan restoratif dan mendesak penangguhan penahanan tersangka AA dicabut,” tegas Syamsul Hidayat, juru bicara koalisi dalam keterangan persnya, Sanin (15/3/2021).

Kolisi, kata Syamsul, mendesak penanganan kasus tersebut hingga tuntas.

Ada beberapa alasan kasus tersebut tidak pantas menggunakan restorative justice.

KETERANGAN PERS: Kapolresta Mataram Kombespol Heri Wahyudi (duduk; dua dari kiri) saat memberi keterangan pers, Kamis (21/1/2021).
KETERANGAN PERS: Kapolresta Mataram Kombespol Heri Wahyudi (duduk; dua dari kiri) saat memberi keterangan pers, Kamis (21/1/2021). (Dok. Polresta Mataram)

Antara lain, tersangka AA (65), seorang politisi Partai Amanat Nasional (PAN) diduga telah melakukan pencabulan terhadap anak kandungnya WM (17), Senin (18/1/2021), sekitar pukul 15.00 Wita, di tempat tinggal korban, di Kota Mataram.

Selanjutnya berdasarkan visum et repertum, pada bagian intim korban ada luka robek baru tidak beraturan.

Parahnya lagi, AA juga diduga pernah ingin melakukan hal serupa ke anak yang lain.

Atas dugaan perbuataan cabul, AA dikenakan Pasal 82 Ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, ancaman pidana penjara minimal 5 tahun, maksimal 15 tahun.

Serta ditambah 1 per 3 dari ancaman pidana pokok karena pelaku adalah orang tua kandung dari anak korban.

Berdasarkan pertimbangan itu, maka koalisi mendesak kepolisian membatalkan rencana ‘restorative justice’ dalam perkara tersebut.

Baca juga: Dua Kali Vaksin Wagub NTB Positif Covid-19, Ini Penjelasan Dinas Kesehatan NTB 

Baca juga: Wakil Gubernur NTB dan 7 Keluarga Positif Covid-19, Bersyukur Divaksin karena Tanpa Gejala

”Sepatutnya dibatalkan atau tidak perlu dipertimbangkan sama sekali,” katanya.

Yan Mangandar, pengacara publik PBH Mangandar menambahkan, penerapan keadilan restoratif dalam perkara itu bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Pasal 12  huruf a, disebutkan, kedilan restoratif dilakukan apabila terpenuhi syarat materil yaitu tidak menimbulkan keresahan masyarakat dan tidak ada penolakan masyarakat.

Selain bertentangan dengan ketentuan Kapolri, juga bertentangan dengan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

”Pada Pasal 5 ayat (8) huruf a dan b, disebutkan bahwa restorative justice dikecualikan untuk tindak pidana terkait kesusilaan,” jelas Yan Mangandar.

Pasal 4 ayat (1) huruf d dan e, disebutkan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan dengan memperhatikan respons, keharmonisan masyarakat, kepatutan, kesusialaan, dan ketertiban umum.

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012, perkara pidana yang diselesaikan dengan keadilan restoratif adalah tindak pidana ringan dengan ancaman hukuman di bawah 5 tahun dan nilai kerugian tidak lebih dari Rp 2,5 juta.

”Perdamaian antara tersangka dan korban tidak dapat menghentikan proses hukum,” tegasnya.

Sebab ketentuan pasal yang diancamkan kepada AA adalah delik biasa.

”Sehingga penyidik tetap bisa melakukan proses tanpa adanya persetujuan dari korban/pihak yang dirugikan,” ujarnya.

Ketua Yayasan Gagas Azhar Zaini menambahkan, koalisi mendesak kasus diproses sampai tuntas karena kekerasan seksual terhadap anak dari tahun ke tahun terus meningkat.

”Kondisi ini mengancam peran strategis anak sebagai generasi penerus masa depan bangsa dan negara, sehingga perlu memperberat sanksi pidana,” tegasnya.

Baca juga: Buang Sabu ke Selokan, 3 Pengedar Diringkus Polda NTB, 1 Orang Melarikan Diri  

Presiden Joko Widodo, kata Azhar, dalam rapat terbatas 'Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Anak' tanggal 9 Januari 2020 menyampaikan, pemerintah akan mereformasi besar-besaran manajemen penanganan kasus kekerasan anak, agar bisa dilakukan dengan cepat terintegrasi dan lebih komprehensif.

”Penegakan hukum yang memberikan efek jera, terutama terkait pedofilia dan kekerasan seksual anak sangat penting diterapkan,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram Joko Jumadi menegaskan, dengan alasan-alasan tersebut, maka restorative justice tidak dapat dilaksanakan untuk tindak pidana kekerasan seksual.

”Apalagi saat ini kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak makin meningkat khususnya di NTB,” katanya.

Penghentian kasus dugaan pencabulan dengan restorative justice serta penangguhan penahanan tersangka AA menjadi preseden buruk penegakkan hukum di Indonesia, terutama di NTB.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved