Kematian Brigadir Nurhadi

Terungkap di Sidang! Kompol Yogi Diduga Minta Rekaman CCTV Hotel Dihapus Usai Brigadir Nurhadi Tewas

Dalam sidang dakwaan, JPU menyebut kedua terdakwa diduga berupaya merekayasa kronologi kematian Nurhadi dengan meminta CCTV hotel dihapus.

Penulis: Robby Firmansyah | Editor: Idham Khalid
TribunLombok.com/Robby Firmansyah
SIDANG PERDANA - Dua terdakwa Made Yogi Purusa Utama (kiri) dan Aris Candra menjalani sidang perdana kasus pembunuhan Brigadir Nurhadi di Pengadilan Negeri Mataram, Senin (27/10/2025). 

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Jaksa penuntut umum (JPU) mengungkap siasat dua anggota polisi, Kompol I Made Yogi Purusa Utama dan Ipda Aris Candra, dalam upaya menutupi jejak kasus kematian Brigadir Muhamad Nurhadi di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.

Dalam sidang dakwaan, JPU menyebut kedua terdakwa diduga berupaya merekayasa kronologi kematian Nurhadi yang ditemukan tewas pada 16 April 2025.

Salah satu langkah yang dilakukan keduanya adalah meminta agar rekaman kamera CCTV di hotel lokasi kejadian dihapus.

Yogi dan Aris disebut menghubungi Kasat Reskrim Polres Lombok Utara, AKP Punguan Hutahaean, untuk meminta agar rekaman CCTV di hotel itu dihapus.

Dalam dakwaan juga disebutkan, Yogi menyampaikan kepada Kasat Reskrim Polres Lombok Utara bahwa Nurhadi meninggal akibat salto di kolam.

Namun, karena khawatir dengan potensi penyimpangan dalam penanganan kasus, Kasat Reskrim Polres Lombok Utara disebut memilih untuk melaporkan bahwa perkara tersebut akan diambil alih oleh Polda NTB.

Selain itu, Kompol Yogi juga disebut meminta Aris dan Misri teman kencannyauntuk menghapus isi percakapan di ponsel mereka, termasuk komunikasi dengan Meylani Putri yang merupakan teman kencan Aris.

Dalam dakwaan disebutkan, setelah Brigadir Nurhadi dinyatakan meninggal dunia oleh dokter di Klinik Warna Gili Trawangan, terdakwa Ipda Aris Candra melarang pihak klinik mendokumentasikan jenazah korban.

“Sehingga dengan adanya pelarangan tersebut, saksi bersama tim medis Klinik Warna Medika tidak berani membuat foto dan rekam medis sebagai data pelengkap membuat surat kematian,” ujar Muklish.

Padahal, kata jaksa, pembuatan rekam medis dan dokumentasi jenazah merupakan bagian dari standar operasional prosedur (SOP) yang penting sebagai dasar penerbitan surat kematian sekaligus bukti untuk mengungkap peristiwa pidana.

Baca juga: Dua Terdakwa Kasus Kematian Brigadir Nurhadi Ajukan Keberatan Atas Dakwaan JPU

Tim medis Klinik Warna Medika juga membuat surat kematian dengan tanggal mundur, yakni tertulis 16 April 2024, padahal kejadian sebenarnya berlangsung pada 2025. Waktu kejadian pun dicatat menggunakan Waktu Indonesia Barat (WIB), bukan WITA sesuai lokasi.

Jaksa juga mengungkap, kedua terdakwa melarang petugas patroli melakukan identifikasi terhadap jenazah korban.

“Terdakwa (Aris Candra) juga melarang saksi Brian Dwi Siswanto (anggota patroli) untuk melakukan pengecekan jenazah dan mengecek kamar di Klinik Warna Medika,” kata Muklish.

Karena kedua terdakwa merupakan anggota Paminal Bid Propam Polda NTB, saksi Brian petugas patroli disebut tak berani melanjutkan pemeriksaan lebih jauh.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved