Pertimbangan Pemerintah Tetapkan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional Meski Diliputi Kontroversi

Penganugerahan gelar pahlawan nasional Soeharto berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025

Tribunnews/Jeprima
PAHLAWAN NASIONAL - Siti Hardijanti Rukmana dan Bambang Trihatmodjo mewakili sang ayah Jenderal Besar TNI Soeharto pada acara pemberian anugerah pahlawan nasional di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan pahlawan nasional kepada 10 tokoh di antaranya K.H. Abdurrahman Wahid, Jenderal Besar TNI Soeharto, dan aktivis buruh Marsinah sebagai upaya pemerintah dalam menghormati jasa para pendahulu dan pemimpin bangsa yang dinilai telah memberikan kontribusi besar bagi negara. 

"Yang terkait dengan kasus-kasus itu kan pasti sudah ada proses hukumnya. Misalnya apa yang dituduhkan? Semua ada proses hukumnya dan proses hukum itu sudah tuntas dan itu tidak terkait dengan Presiden Soeharto," tuturnya.

Kepala Divisi Impunitas KontraS, Jane Rosaline Rumpia, menilai rekam jejak Soeharto yang kelam, membuatnya tak layak menyandang gelar Pahlawan Nasional.

Sebab, menurutnya, gelar Pahlawan Nasional adalah bentuk penghargaan tertinggi dari negara yang seharusnya diberikan kepada individu yang berjasa atas perjuangan kemerdekaan, menjaga keutuhan negar,a serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan moralitas publik.

Baca juga: Tutut Tak Masalah soal Kontra Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Semua Perjuangannya untuk Rakyat

"Soeharto tidak layak menjadi Pahlawan Nasional lantaran rekam jejaknya dalam kejahatan HAM, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta gaya kepemimpinan otoriter selama 32 tahun menjabat," ungkap Jane kepada Tribunnews.com pada Senin (27/10/2025) lalu.

"Selama masa Orde Baru, ia (Soeharto) menjalankan pemerintahan dengan pola kekuasaan yang otoriter dan represif yang berdampak luas terhadap kehidupan rakyat Indonesia," imbuhnya.

Pembungkaman Pers

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menilai keputusan/kebijakan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto mencerminkan bentuk penistaan negara terhadap sejarah perjuangan kebebasan pers di Indonesia.

Pada era pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, jurnalis, pekerja media, dan semua pihak dalam ekosistem pers hidup di bawah tekanan. 

Di bawah kekuasaan Orba  masyarakat termasuk pers  yang dipaksa tunduk pada narasi tunggal negara. Media kritis dibungkam melalui pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). 

Upaya menjalankan fungsi kontrol sosial dan menyuarakan kritik terhadap kekuasaan justru mengancam keselamatan, baik secara profesional maupun pribadi.

Gelar Pahlawan Nasional seharusnya diberikan kepada sosok yang berjasa luar biasa dalam perjuangan kemerdekaan, membebaskan kelompok tertindas, serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keadilan, dan moral publik. 

Beberapa contoh kasus mencerminkan pola represi tersebut ialah sebagai berikut:

1. Pada tahun 1974 – Harian Indonesia Raya dibredel setelah memberitakan dugaan korupsi dan penyimpangan proyek pembangunan, serta liputan peristiwa 15 Januari 1974 (Peristiwa Malari). Pemimpin redaksi Mochtar Lubis, ditahan tanpa proses hukum yang adil.

2. Pada tahun 1978 – Pembredelan pers mahasiswa (dahulu disebut koran kampus) seperti Gelora Mahasiswa, Balairung dan Arena UGM, setelah pemberitaan dan aksi penolakan terhadap Soeharto yang terpilih kembali sebagai presiden untuk ketiga kalinya. Rentetan protes dari berbagai kelompok mahasiswa kemudian melahirkan kebijakan represif lainnya yang membatasi ruang gerak mahasiswa yakni Normalisasi Kebijakan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan atau NKK/BKK yang juga turut menuai protes lanjutan.

Sumber: Tribun Lombok
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved