Opini

Gus Dur dan Kepahlawanan Kemanusiaan di Tengah Keberagaman

Di tengah realitas sosial Indonesia yang plural, Gus Dur melihat keberagaman bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai anugerah.

Editor: Sirtupillaili
KOMPAS.com / Agus Susanto
Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur saat masih hidup. 

Oleh: Suaeb Qury
*Wakil Sekretaris PW NU Prov NTB

Setiap tahun, tanggal 10 November selalu mengingatkan kita pada pertempuran besar yang terjadi di Surabaya pada 1945. Hari Pahlawan bukan hanya tentang mengenang perang dan senjata, melainkan juga tentang menghargai nilai keberanian mempertahankan martabat kemanusiaan

Di era saat ini, pahlawan tidak selalu hadir di medan pertempuran. Mereka bisa muncul dalam bentuk pemikiran, sikap, dan keteguhan memperjuangkan nilai moral. Dan dari semua tokoh bangsa yang telah memberikan teladan tentang keberanian tanpa kekerasan, satu nama muncul begitu kuat: KH. Abdurrahman Wahid, atau yang kita kenal sebagai Gus Dur.

Gus Dur tidak membawa senjata, tetapi membawa suara kemanusiaan. Ia tidak memimpin perang fisik, tetapi peperangan melawan diskriminasi, ketidakadilan, dan ketakutan atas perbedaan. Dalam wajahnya, kepahlawanan tampil dengan cara yang lebih sunyi namun begitu tegas: memperlakukan semua manusia sebagai manusia.

Di tengah realitas sosial Indonesia yang plural, Gus Dur melihat keberagaman bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai anugerah. Baginya, perbedaan adalah kekayaan, bukan alasan untuk menjauh, apalagi bermusuhan. 

Ia pernah mengatakan bahwa negara ini tidak dibangun oleh satu kelompok saja, melainkan oleh banyak tangan, banyak budaya, dan banyak iman. Dari sinilah gagasan pluralisme yang ia perjuangkan menemukan bentuknya.

Gus Dur tidak sekadar berbicara tentang toleransi; ia mempraktikkannya. Ia mengangkat suara untuk kelompok yang sering dipinggirkan etnis, agama, maupun kelompok minoritas lain yang dianggap “tidak penting” oleh sebagian besar masyarakat. 

Baca juga: Sultan Muhammad Salahuddin Resmi Jadi Pahlawan Nasional, Cucu Terharu Usai 20 Tahun Perjuangan

Ketika banyak orang memilih diam agar aman, Gus Dur memilih berdiri dan berbicara. Itulah keberanian yang jarang kita lihat: keberanian untuk tidak populer.

Kita sering lupa bahwa memperjuangkan kemanusiaan membutuhkan risiko. Gus Dur dikritik, diejek, bahkan dianggap terlalu berani membela kelompok yang bukan “bagian” dari dirinya. Namun, justru di situlah kepahlawanannya. 

Ia tidak pernah membatasi kasih sayang berdasarkan identitas. Baginya, kemanusiaan lebih luas daripada sekadar agama atau etnis. Dan keberanian untuk menyayangi semua orang tanpa syarat adalah wujud pahlawan yang sesungguhnya.

Hari ini, tantangan bangsa bukan lagi penjajah bersenjata. Tantangan kita adalah intoleransi, ujaran kebencian, sentimen kelompok, hingga kebiasaan menghakimi orang hanya dari perbedaannya. 

Media sosial sering menjadi medan tempur baru, di mana masing-masing merasa paling benar. Kita telah terlalu sibuk membela identitas, sampai lupa membela kemanusiaan.

Di sinilah nilai dari keteladanan Gus Dur menjadi relevan. Ia mengingatkan bahwa kebhinekaan bukan hanya slogan yang dipasang di dinding, melainkan tanggung jawab untuk dirawat. 

Pluralisme tidak berarti hanya menerima perbedaan, tetapi menghargai, melindungi, dan memperjuangkan hak semua kelompok.

Hari Pahlawan seharusnya menjadi momen refleksi

Suaeb Qury, Wakil Sekretaris PW NU ProvInsi NTB
Suaeb Qury, penulis merupakan Wakil Sekretaris PW NU ProvInsi NTB (ISTIMEWA)

Apakah kita sudah berani membela kemanusiaan meski kita berdiri sendirian?

Menjadi pahlawan hari ini tidak menuntut kita mengangkat senjata. Kadang kepahlawanan hadir saat kita memilih tidak membalas kebencian dengan kebencian. 

Pahlawan muncul ketika seseorang menolong orang lain tanpa bertanya apa agamanya, dari mana asalnya, atau siapa keluarganya.

Gus Dur mungkin sudah tiada, tetapi gagasannya terus hidup. Ia mengajarkan bahwa Indonesia hanya bisa berdiri tegak jika semua manusia diperlakukan setara. 

Dalam pluralisme, kita menemukan wajah Indonesia yang sebenarnya. Dalam nilai kemanusiaan, kita menemukan kemerdekaan yang sesungguhnya.

Pada Hari Pahlawan ini, mari kita teruskan warisan moral Gus Dur. Jadilah pahlawan dengan cara paling sederhana namun paling berharga:
menjadi manusia yang memanusiakan manusia.

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved