PBB Desak Indonesia Selidiki Dugaan Kekerasan Berlebihan dalam Demo Nasional yang Tewaskan 6 Orang

PBB meminta Indonesia lakukan penyelidikan atas dugaan penggunaan kekuatan berlebihan dalam aksi protes yang menewaskan enam orang

Penulis: Irsan Yamananda | Editor: Irsan Yamananda
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
GAS AIR MATA - Warga melakukan aksi menuntut pengusutan kasus penabrakan pengemudi ojek online oleh mobil rantis Brimob di Kwitang, Jakarta, Jumat (29/8/2025). Cara mengatasi paparan gas air mata, menjauhi sumber paparan, jangan menggosok mata atau wajah hingga hindari penggunaan krim atau salep. 

TRIBUNLOMBOK.COM - PBB pada Senin 1 September 2025 menyerukan penyelidikan atas dugaan penggunaan kekuatan yang tidak proporsional setelah enam orang tewas dalam protes di seluruh Indonesia.

Gelombang demonstrasi ini dipicu oleh kemarahan publik terhadap fasilitas mewah yang diberikan kepada anggota parlemen.

“Kami memantau dengan saksama serangkaian kekerasan di Indonesia dalam konteks protes nasional atas tunjangan DPR, langkah-langkah penghematan, dan dugaan penggunaan kekuatan yang tidak perlu atau tidak proporsional oleh pasukan keamanan,” kata juru bicara kantor hak asasi manusia PBB, Ravina Shamdasani seperti dikutip dari Staitstimes.

“Kami menekankan pentingnya dialog untuk mengatasi kekhawatiran publik,” tambahnya dalam sebuah pernyataan.

Menurut Shamdasani, kantor hak asasi manusia PBB menyerukan adanya penyelidikan yang cepat, menyeluruh, dan transparan atas “semua dugaan pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional, termasuk yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan.”

Ia menegaskan bahwa semua pasukan keamanan, termasuk militer ketika dikerahkan untuk penegakan hukum, wajib mematuhi prinsip-prinsip dasar mengenai penggunaan kekuatan dan senjata api oleh aparat kepolisian.

“Pihak berwenang harus menjunjung tinggi hak berkumpul secara damai dan kebebasan berekspresi, sambil menjaga ketertiban, sesuai dengan norma dan standar internasional, terkait dengan pengamanan pertemuan publik,” ujarnya.

PEMBAKARAN GEDUNG DPRD - Ratusan warga berkumpul di depan Gedung DPRD NTB saat aksi unjuk rasa berujung pembakaran, Sabtu (30/8/2025). Gubernur Iqbal memastikan kondisi wilayah tetap aman dan kondusif pasca insiden tersebut dan tidak memengaruhi kunjungan wisata.
PEMBAKARAN GEDUNG DPRD - Ratusan warga berkumpul di depan Gedung DPRD NTB saat aksi unjuk rasa berujung pembakaran, Sabtu (30/8/2025). Gubernur Iqbal memastikan kondisi wilayah tetap aman dan kondusif pasca insiden tersebut dan tidak memengaruhi kunjungan wisata. (TRIBUNLOMBOK.COM/ ROBBY FIRMANSYAH)

Shamdasani juga menekankan pentingnya kebebasan pers, di mana media harus diizinkan melaporkan peristiwa secara bebas dan independen.

Sebelumnya, demonstrasi yang awalnya berlangsung damai berubah menjadi ricuh setelah muncul rekaman pada 28 Agustus yang memperlihatkan salah satu tim polisi paramiliter elit menabrak seorang driver ojol.

Peristiwa itu memicu bentrokan yang semakin meluas.

Sejak saat itu, protes menyebar dari Jakarta ke berbagai kota besar lainnya, menjadikannya kerusuhan terbesar sejak Presiden Prabowo Subianto menjabat kurang dari satu tahun lalu.

Baca juga: Profil Direktur Lokataru Delpedro Marhaen yang Dijadikan Tersangka Penghasutan Aksi Anarkis

Dunia Sorot Tewasnya 9 Warga Sipil di Unjuk Rasa Indonesia

Dunia menyoroti tewasnya sembilan warga sipil dalam aksi unjuk rasa yang berlangsung selama sepekan di Indonesia

Diketahui hingga Selasa (2/9/2025) dilaporkan sembilan warga sipil tewas dalam unjuk rasa yang berakhir ricuh.

Sebagian warga tewas ialah karena tindakan represif aparat mulai dari menabrak menggunakan kendaraan taktis (Rantis) hingga penggunaan gas air mata yang berlebih. 

Ada juga warga sipil yang tewas karena terjebak di dalam gedung pemerintahan yang terbakar. 

Menanggapi hal itu, Direktur Riset Regional Amnesty International, Montse Ferrer buka suara pada Selasa (2/9/2025). 

Montse menyayangkan kematian warga sipil di tengah aksi unjuk rasa yang merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM). 

Menurutnya tidak seorang pun seharusnya meninggal saat menjalankan hak mereka atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai. 

Baca juga: Profil Direktur Lokataru Delpedro Marhaen yang Dijadikan Tersangka Penghasutan Aksi Anarkis

Oleh karena itu, Montse mendorong pihak berwenang di Indonesia harus segera memastikan investigasi yang independen dan imparsial atas kematian dan insiden kekerasan ini.

Termasuk tewasnya seorang pengemudi ojek setelah sebuah kendaraan lapis baja polisi dikemudikan secara sembrono di area ramai. 

Pihak berwenang harus memastikan mereka yang bertanggung jawab atas kematian ini diidentifikasi dan dimintai pertanggungjawaban dalam pengadilan yang adil.

Hal ini juga kata Monste tidak lepas dari tindakan represif aparat Kepolisian RI yang menggunakan kekerasan dalam mengamankan unjuk rasa. 

“Meskipun sebagian besar aksi protes berlangsung damai, polisi di beberapa kota di Indonesia, termasuk Jakarta, berulang kali menggunakan kekerasan yang tidak perlu dan berlebihan, termasuk penggunaan gas air mata yang tidak tepat dan berlebihan untuk membubarkan demonstrasi.

Monste pun menyangka Kapolri menginstruksikan petugas kepolisian untuk menggunakan peluru karet terhadap pengunjuk rasa yang telah memasuki kompleks Markas Besar Brigade Mobil Polda Metro Jaya. 

Sebab senjata-senjata ini hanya boleh digunakan dalam keadaan luar biasa, seperti situasi kerusuhan yang berpotensi menimbulkan ancaman langsung dan membahayakan orang lain. 

Selain itu, senjata ini hanya boleh digunakan oleh petugas yang terlatih dan tidak boleh ditembakkan secara acak ke arah kerumunan, melainkan harus ditujukan secara eksklusif kepada orang-orang yang terlibat dalam kekerasan terhadap orang lain, dan hanya jika cara lain tidak dapat menghentikan kekerasan tersebut.

Lebih lanjut, pemerintah Indonesia tidak boleh menggunakan insiden kekerasan yang dilakukan oleh beberapa pengunjuk rasa sebagai alasan untuk semakin menekan demonstrasi damai.

Alih-alih melakukan tindakan keras yang brutal, pihak berwenang seharusnya menghormati, memfasilitasi, dan melindungi hak-hak masyarakat untuk berkumpul secara damai dan bebas berekspresi.

Diketahui selama sepekan ini Indonesia dilanda unjuk rasa serempak di berbagai daerah. 

Unjuk rasa maraton yang berlangsung sejak Senin (25/8/2025) hingga Sabtu (30/8/2025) menjadi unjuk rasa terbesar di Indonesia setelah reformasi 1998. 

Pasalnya unjuk rasa tersebut diikuti berbagai elemen masyarakat, bukan hanya mahasiswa namun juga siswa SMA, pengemudi ojek online (Ojol), hingga masyarakat dari berbagai kalangan. 

Bukan hanya terfokus di Jakarta, unjuk rasa juga menyebar hingga ke berbagai wilayah Indonesia seperti Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, hingga Serang. 

Unjuk rasa tersebut dipicu dari kemuakan masyarakat akan pengadaan tunjangan rumah untuk DPR RI senilai Rp50 juta perbulan. 

Terlebih tunjangan ini ternyata sudah diberikan selama 10 bulan terakhir tanpa diketahui masyarakat. 

Hal ini kemudian memicu gejolak masyarakat yang kesal dengan kinerja DPR RI yang minim mensejahterakan masyarakat namun hidup bergelimang harta. 

Ditambah ketika dikritik, jawaban sejumlah anggota DPR RI seperti Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach cenderung reaksioner.

Puncaknya masyarakat pun marah dan menggeruduk rumah sejumlah pejabat di Indonesia dan menjarahnya.

(TribunLombok/ Wartakota)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved