Oleh: Ahsanul Khalik
Rencana Pemerintah Provinsi NTB untuk menggabungkan Dinas Sosial dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) menimbulkan pro dan kontra.
Sejumlah elemen masyarakat sipil, termasuk jaringan aktivis perempuan, menyuarakan kekhawatiran akan pelemahan fungsi spesifik yang selama ini dijalankan oleh DP3AP2KB, khususnya dalam perlindungan anak dan pengarusutamaan gender.
Namun di balik dinamika tersebut, penting untuk melihat arah kebijakan ini dari perspektif penguatan kelembagaan dan tata kelola pembangunan yang lebih terintegrasi, terutama dalam kaitannya dengan pencapaian Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG).
IPG dan IDG adalah dua instrumen penting untuk mengukur kemajuan daerah dalam menghapus ketimpangan gender.
IPG mencerminkan kesetaraan capaian perempuan dan laki-laki dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Sementara IDG mengukur sejauh mana perempuan memiliki kesempatan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan, baik di ranah politik, ekonomi, maupun sosial.
Selama ini, kelembagaan pengarusutamaan gender kerap terhambat oleh keterbatasan anggaran, lemahnya koordinasi antar sektor, dan birokrasi yang terlalu sektoral.
Penggabungan dua dinas besar ini justru berpotensi membuka jalan baru untuk mengatasi kendala tersebut. Mengapa? Karena persoalan ketimpangan gender tidak berdiri sendiri.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak, perkawinan anak, disabilitas perempuan, hingga kemiskinan struktural yang meminggirkan perempuan adalah problem multidimensi yang selama ini juga ditangani oleh Dinas Sosial.
Dengan penggabungan ini, Pemerintah Provinsi NTB berupaya memperkuat efektivitas intervensi melalui penyatuan fungsi perlindungan sosial dan pemberdayaan perempuan dalam satu sistem kelembagaan yang lebih kuat.
Hal ini memungkinkan koordinasi program yang lebih erat, pemanfaatan anggaran yang lebih efisien, dan pelayanan yang lebih terpadu bagi kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak.
Dampaknya terhadap IPG dan IDG
Penggabungan ini, jika dikelola dengan visi yang kuat, justru dapat menjadi akselerator peningkatan IPG dan IDG di NTB.
Di tahun-tahun sebelumnya, capaian IPG NTB masih berada di bawah rata-rata nasional, disebabkan oleh masih lebarnya gap pendidikan dan penghasilan antara perempuan dan laki-laki. Begitu pula IDG yang rendah, karena keterwakilan perempuan di lembaga politik maupun posisi strategis publik masih minim.
Dengan struktur yang lebih terintegrasi, kebijakan perencanaan dan penganggaran responsif gender bisa lebih optimal dilakukan, tidak lagi menjadi kerja satu dinas semata.