Laporan Wartawan TribunLombok.com, Atina
TRIBUNLOMBOK.COM, KOTA BIMA - Surat Edaran (SE) Wali Kota Bima tentang pelibatan anak sebagai joki cilik pada pacuan kuda menuai sorotan.
SE tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, yang harusnya menjadi rujukan pemerintah daerah dalam membuat regulasi terkait joki cilik.
"SE wali kota ini versi joki cilik yang dilegalkan pemerintah daerah," sentil budayawan Bima, Fahru Rizki, ketika mengetahui isi SE yang dikeluarkan Pemkot Bima, Rabu (20/7/2022).
Fahru mengungkap, pada poin ketiga SE yang mengatur pengelompokan usia anak untuk menjadi joki cilik, berseberangan dengan UU perlindungan anak.
Baca juga: Joki Cilik Disebut Bukan Praktek Kerja Karena Tak Sesuai Standar Upah Minimum
"Percuma. Tidak ada poin pasti untuk mengubah penggunaan joki anak," katanya.
Seharusnya, pemerintah daerah tidak membuat regulasi yang bertentangan dengan perangkat aturan lebih tinggi.
Karena dalam UU perlindungan anak jelas mencantumkan, jika batas usia anak adalah di bawah 18 tahun.
"Seharusnya pemerintah daerah berpatokan pada UU perlindungan anak bukan pada standar lokal," tegasnya.
Fahru juga menanggapi pernyataan kepala DPPPA Kota Bima, yang menyatakan jika penggunaan joki anak sebuah tradisi.
Sebagai seorang budayawan ia menegaskan, tidak ada satu pun tradisi Bima yang menggunakan anak kecil untuk menunggangi kuda dalam hal kepentingan pacuan.
"Joki cilik itu hanya budaya asimilasi. Sekali lagi saya katakan, bukan tradisi," tegasnya lagi.
Baca juga: Terbitkan Surat Edaran, Bupati Bima Larang Penggunaan Joki Cilik di Pacuan Kuda
Fahru menyayangkan sikap Pemerintah Kota Bima yang seolah tidak jelas.
Apalagi jika dikaitkan dengan status Kota Layak Anak (KLA), maka menurut Fahru masih jauh panggang dari api.
"Sekarang setiap sudut lampu merah mudah kita temui anak-anak mengemis, dengan berkedok jualan kacang," ungkapnya.