Apalagi jika berkaitan dengan pendidikan anak-anak khususnya joki cilik ini, banyak yang belum bisa membaca.
"Apa tolak ukur sehingga Kota Bima menyandang KLA?" sentilnya lagi.
Tidak hanya itu, Fahru bahkan tidak berhenti memahami seorang birokrat di Pemerintahan Kota Bima yang menyatakan jika penggunaan anak pada joki cilik bukan praktik mempekerjakan anak.
Sementara jelas, ada transaksi upah antara pemilik kuda dan si joki anak.
Artinya, ada kegiatan dagang yang terjadi.
"Aduh...masa seorang birokrat tidak paham," pungkasnya.
Sebelumnya, Wali Kota Bima menandatangani SE tentang penggunaan joki cilik.
Sayangnya dalam SE tersebut tidak melarang penggunaan anak sebagai joki cilik, tapi mengatur usia anak yang bisa menjadi joki.
Dalam klasifikasi usia pada poin kedua SE disebutkan, yang menjadi joki cilik pada kuda kecil berusia 10 - 14 tahun dan pada kuda besar berusia 15 - 19 tahun.
Kepada TribunLombok.com, Kepala DPPPA Kota Bima Syahruddin bahkan menyebut, jika praktik joki cilik bukan bagian dari mempekerjakan anak, sebagaimana yang dilarang dalam UU Perlindungan Anak.
(*)