Warga Banyak Memilih Jadi Pekerja Migran Dibanding Sektor Pariwisata, Ini Penjelasan BP2MI NTB

Penulis: Robbyan Abel Ramdhon
Editor: Sirtupillaili
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kepala UPT BP2MI Wilayah NTB Abri Danar Prabawa

Laporan Wartawan Tribunlombok.com, Robbyan Abel Ramdhon

TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK BARAT – Kepala UPT BP2MI Wilayah NTB Abri Danar Prabawa menanggapi pernyataan Dinasker Lombok Barat, dimana banyak warga lebih memilih menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dibandingkan bekerja di sektor industri pariwisata.

Tren ini semakin tinggi sejak sektor pariwisata dihantam badai pandemi Covid-19.

Menurut Abri Danar Prabawa, banyak faktor yang mendorong masyarakat memilih menjadi PMI, termasuk karena persoalan sosial dan ekonomi.

Ia pun menjabarkan berbagai permasalahan sering dihadapi PMI ketika sedang berada di negara perantauan.

Baca juga: Pupus di Pariwisata, Masyarakat Lombok Barat Terbang Jadi PMI

Tahun 2021, BP2MI NTB mencatat, berdasarkan angka pemulangan, jumlah PMI asal NTB sebanyak 26.996.

Lombok Barat masuk dalam tiga besar setelah Lombok Timur dan Lombok Tengah.

Lombok Timur sebanyak 11.672 orang PMI, Lombok Tengah 8.547 PMI, dan Lombok Barat 2.979 PMI.

"Sebenarnya, banyak faktor yang membuat orang menjadi PMI. Mungkin gaji salah satunya. Faktor lain, misal, karena tidak tersedia penyiapan tenaga kerja sesuai kebutuhan lapangan kerja yang ada di kabupaten mereka,” katanya kepada Tribunlombok.com.

Baca juga: Kecelakaan Kerja, Seorang PMI Asal Bima Meninggal di Jepang

Di sisi lain, jumlah PMI di Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, bersanding dengan jumlah penduduk miskin yang mereka miliki.

Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) NTB tahun 2021, jumlah penduduk miskin di Lombok Timur menempati urutan pertama, sebesar 190,84 ribu jiwa.

Disusul Lombok Tengah 131,94 ribu jiwa, dan Lombok Barat 105,24 ribu jiwa.

Sementara total remitansi atau transfer uang para PMI NTB ke daerah-daerah telah mencapai miliaran.

Kota Mataram dan Lombok Barat, total remitansinya Rp 125 miliar.

Lombok Tengah Rp 6,1 miliar dan Lombok Timur Rp 2,5 miliar.

Artinya, jumlah PMI yang besar pada kabupaten-kabupaten di atas tidak serta-merta menjadikan angka penduduk miskin berkurang.

Abri mengatakan, permasalahan PMI juga mencakup pengiriman uang ke daerah asal yang sering menggunakan cara tidak resmi.

“Memang besar (uang) yang dikirim dari sana, tapi bisa menjadi kecil ketika sampai di keluarganya. Karena biaya pengiriman melalui jasa resmi itu mahal, sementara jika menggunakan yang tidak resmi malah penuh risiko,” ungkapnya.

Baca juga: Cerita PMI Asal Bali di Ukraina Selamat Setelah Berlindung di Bunker, Trauma Bunyi Ledakan

PMI NTB mendominasi Malaysia dengan mayoritas bekerja di sektor perladangan.

Diterangkan Abri, lokasi ladang tempat para PMI bekerja hampir selalu jauh dari jangkauan kantor-kantor resmi pengiriman uang semacam bank.

Karena itu, para PMI seringkali tak punya pilihan lain kecuali melalui jalur pengiriman tidak resmi.

Selanjutnya Abri menyebut, angka pengaduan permasalahan PMI mencapai 1.008 kasus dan kerap mendorong alasan pemulangan PMI.

Tiga kasus terbanyak yang mendominasi aduan adalah PMI unprosedural, pencegahan, meninggal/sakit.

“Kalau dijabarkan semua, gambaran permasalahan PMI akan seperti pohon, beranting-ranting. Tinggal pilih, mana yang mau dibenahi terlebih dahulu?” ucapnya.

(*)

Berita Terkini