TRIBUNLOMBOK.COM - Kasus perdagangan bayi terjadi di Palembang.
Kasus tersebut melibatkan empat orang tersangka.
Kini, kasus itu telah ditangani oleh Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polrestabes Palembang.
Aparat juga sudah mendapatkan fakta baru terkait kasus tersebut.
Berdasarkan hasil penyelidikan, BB (26) adalah otak di balik kasus penjualan anak mereka sendiri.
Ia merupakan suami dari tersangka AN (25).
Baca juga: Kejahatan Perdagangan Orang di NTB Kelima Terbanyak di Indonesia, Modusnya Makin Rumit
Baca juga: Gadis 17 Tahun di NTB Jadi Korban Perdagangan Orang, Identitas Dipalsukan hingga Dihamili Tekong
Hal tersebut diungkapkan oleh Kasat Reskrim Polrestabes Palembang Kompol Tri Wahyudi.
Ia mengatakan, BB yang semula adalah pelapor dari kasus itu sebelumnya menjalani pemeriksaan.
Di sana ia diketahui ternyata sempat menghubungi SL (DPO) untuk menjual anaknya.
Menurut Tri, semula AN dan BB sepakat untuk menjual anak mereka yang baru berusia 1 bulan sebesar Rp 10 juta.
Baca juga: Operasi Tempat Hiburan Malam di Senggigi, Antisipasi Prostitusi hingga Perdagangan Orang
BB lalu menghhubungi SL untuk dicarikan pembeli. Kemudian, tersangka PT dan RH menghubungi GT bahwa ada seseorang hendak menjual anak.
“Ketika itu tersangka GT ini mengaku hanya memiliki uang Rp 7 juta, namun BB tidak mau,” kata Tri, kepada wartawan, Sabtu (30/10/2021).
Karena tak ada kesepakatan harga, BB dan istrinya AN kembali pulang ke rumah membawa anak mereka.
Namun, dua tersangka lagi yakni PT dan RH membujuk AN agar tetap menjual anaknya.
“Tanpa sepengatahuan BB, AN ini menjual anaknya sendiri kepada GT,” ujar Kasat.
Saat transaksi berlangsung, GT memberikan uang Rp 6 juta.
Di mana Rp 1 juta telah diambil GT sebagai komisi, sementara PT mendapakan Rp 300.000 dan RH Rp 700.000.
Sehingga, AN hanya mendapatkan Rp 4 juta. Saat BB pulang ke rumah, AN mengaku bahwa anaknya telah di jual.
BB pun marah dan meminta uang tambahan agar GT membayar Rp 10 juta seperti kesepakatan mereka sebelumnya.
“Karena GT tak mau menambah uang, BB akhirnya melapor ke polisi bahwa anaknya telah dijual. BB ini juga ternyata pengguna narkoba, karena saat dites urine hasilnya positif,” ujar dia.
BB kini telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus tersebut.
Baca juga: BP2MI Serukan Perang Melawan Mafia Perdagangan Orang di NTB
Ia terancam dijerat dengan Pasal 76 huruf F Juncto Pasal 83 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman kurungan penjara maksimal selama 15 tahun.
Diberitakan sebelumnya, perbuatan AN (25) seorang ibu muda di Palembang, Sumatera Selatan yang tega menjual bayinya yang baru berusia satu bulan harus berakhir dipenjara.
Ia ditangkap oleh Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polrestabes Palembang, usai dilaporkan oleh BB (26) yang tak lain adalah suami siri pelaku.
Tak hanya AN, tiga rekannya yang lain yakni GT (37), PA (27) dan RH (47) ikut ditangkap polisi lantaran ikut terlibat dalam penjualan bayi seperti dikutip dari Kompas.com dengan judul "Kasus Ibu Jual Bayi Kandung di Palembang Ternyata Didalangi Suami".
Kasus Perdagangan Orang Lainnya
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menempati posisi kelima daerah dengan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tertinggi di Indonesia.
NTB di urutan kelima setelah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Hal ini terungkap dalam rapat koordinasi lintas sektor pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk TPPO, digelar DP3AP2KB NTB, di Hotel Aruna Senggigi, Rabu (18/8/2021).
Menindaklanjuti hal ini, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB Husnanidiaty Nurdin meminta semua pihak bersinergi memberantas TPPO.
”TPPO adalah kasus yang berat dan harus ditangani secara serius mulai dari pencegahan, penanganan, hingga pemulihan karena ini sindikat international," ungkapnya.
Menurutnya, aturan TPPO sudah banyak namun pembagian peran masing-masing pihak harus jelas.
Husnanidiaty menjelaskan, banyak pihak bisa berperan memberantas TPPO.
Mulai dari pemerintahan desa, tokoh masyarakat, masyarakat, hingga perangkat pemerintah daerah dan penegak hukum.
Menurutnya, pemerintah desa memiliki peran penting.
Mereka memiliki data yang lengkap dan terpadu.
Seperti sistem informasi desa (SID), bahkan sekarang sedang dikembangkan sistem informasi posyandu (SIP) yang isinya data kekerasan dan perkawinan anak di desa.
Di sisi lain, jika ada pekerja migran bermasalah, sekrang sebaiknya tidak langsung dipulangkan ke daerah asal.
”Namun mereka bisa diberi bekal keterampilan,” katanya.
Baca juga: Gadis 17 Tahun di NTB Jadi Korban Perdagangan Orang, Identitas Dipalsukan hingga Dihamili Tekong
Baca juga: Ibu Lapor Polisi setelah Lihat Gambar Aneh di Tangan Anak, Ternyata Tanda Sasaran Perdagangan Anak
Selain memperkuat sinergitas dan kerja sama serta koordinasi lintas sektor, rakor juga digelar untuk mengevaluasi kinerja OPD terkait perlindungan perempuan dan anak.
Serta kinerja lembaga layanan untuk korban kekerasan bagi perempuan dan anak.
Serta menyamakan persepsi semua stakeholder dalam pencegahan dan penanganan TPPO di NTB.
Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO Provinsi NTB diharapkan mamberikan solusi untuk mengurangi kasus TPPO.
Kepala UPT BP2MI NTB Abri Danar Prabawa dalam pertemuan mengatakan, dari semua kasus TPPO di dunia ,85 persen korban berasal dari Asia.
"Dari 85 persen itu 88 persennya berasal dari Indonesia dengan jenis pekerjaan terbanyak yaitu pekerjaan domestik atau pekerja rumah tangga," ungkapnya.
Baca juga: Korban Perdagangan Orang di NTB Merasa Diabaikan, Tuntut Perhatian Pemerintah
Baca juga: Pengakuan Pelaku Perdagangan Orang, Dapat Rp 20 Juta per Kepala, Biaya Paspor Tembus Rp 2,6 Juta
Ditambahkannya, dari Rp 160 triliun pendapatan negara tiap tahunnya sekitar 18 persen berasal dari NTB.
Saat ini, PMI dipulangkan sejak Januari hingga Juli 2021 sebanyak 16.167 orang.
Terdiri dari 15.720 orang PMI prosedural dan 447 PMI non prosedural, yang bekerja di 27 negara.
Pemulangan terbanyak berasal dari Lombok Timur 6.633 orang.
Lombok Tengah 5.344 orang, Lombok Barat 1.899 orang, dan disusul kabupaten lainnya.
”Dari penanganan permasalahan hingga Juni 2021, ada 448 yang sudah selesai dan 67 masih dalam proses," bebernya.
Sementara itu, Kasubdit IV Ditreskrimum Polda NTB AKBP Ni Made Pujewati menjelaskan, TPPO adalah kejahatan serius, bersifat transnational, terorganisir rapi, dengan modus operandi makin rumit.
Sejak tahun 2017 hingga Juli 2021, sebanyak 36 kasus TPPO ditangani Polda NTB.
Dalam kasus itu terdapat 39 orang korban dan 40 tersangka.
Menurutnya, penanganan kasus TPPO perlu kerja sama dan sungguh-sungguh berbagai instansi terkait.
"Kendala terberat pada pengungkapan pelaku adalah pada korban karena tidak mau jujur dan mengungkap identitas pelaku," jelasnya.
Artikel lainnya terkait perdagangan manusia
(Kompas/ Kontributor Palembang, Aji YK Putra) (TribunLombok)