Opini
Merah Putih vs One Piece, Alarm Defisit Nasionalisme
Kesukaan pada satu simbol seperti film acap kali membuat seseorang abai dengan sisi negatif yang ada di baliknya.
Hal seperti inilah yang kita khawatirkan dari tren pengidolaan bendera one piece, karena sangat mungkin di saat Gen-Z atau milenial senang dengan bendera one piece beserta seluruh cerita ikutannya, maka pada saat bersamaan terintenalisasi nilai-nilai negatif di balik simbol one piece tersebut dalam proses tumbuh kembangnya kepribadian generasi masa depan kita.
Bendera merah putih adalah simbol keberanian dan kesucian. Berani dengan cara dan tujuan yang baik, bukan berani dengan cara membajak hak dan kenyamanan orang lain seperti komplotan bajak laut.
Keberanian inilah yang ditunjukkan oleh para pejuang terdahulu sehingga mereka berhasil mengusir penjajah. Bendera merah putih adalah simbol yang mereka junjung tinggi atas nama harkat dan martabat sebagai bangsa. Maka tidak heran jika para pejuang di kota Surabaya berani memanjat tiang bendera hanya untuk merobek kain warna biru (bendera kebangsaan Belanda) sehingga warna bendera yang terkibar hanyalah merah putih.
Warna putih mencerminkan kesucian dalam makna yang lebih luas. Suci hati untuk ikhlas berjuang demi kemerdekaan, termasuk mengisi kemerdekaan dengan perilaku yang suci dari hal-hal yang menghambat pembangunan seperti ketidakadilan, korupsi, dan pelbagai aksi tidak terpuji lainnya.
Oleh karena itu penting untuk mengaktualisasikan dan merevitalisasi makna bendera merah putih sehingga tetap dijadikan sebagai simbol penting dalam menghadirkan semangat perjuangan sekaligus sebagai pengingat bagi siapa pun yang berperilaku tidak terpuji di republik ini.
Dalam perspektif otokritik, fenomena pengibaran bendera one piece di bulan kemerdekaan mengindikasikan gagalnya desiminasi makna dan kesakralan bendera merah putih pada generasi Z dan milenial.
Sejatinya diperlukan cara-cara kreatif dalam meliterasi kesakralan bendera merah putih kepada generasi muda. Penanaman nilai-nilai kebangsaan lewat film-film animasi menjadi pilihan yang tepat dan kreatif untuk segmen penonton generasi Z dan milenial.
Kita memiliki banyak pahlawan dan punya banyak cerita kearifan lokal yang sarat pesan moral, namun belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai konten literasi dengan teknik pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan bagi anak usia dini dan generasi Z dan milenial.
Maka tidak heran jika anak-anak kita lebih mengenal dan mengidolakan tokoh atau figur dalam film animasi ketimbang para pahlawan dan tokoh inspirasi yang dimiliki bangsa-nya sendiri.
Fenomena pengibaran bendera sekaligus pengidolaan pada one piece mengindikasikan adanya defisit nasionalisme. Anak-anak bangsa mengalami krisis pemahaman simbol dan figur-figur baik yang memiliki akar historis dan pengalaman empirik sarat inspirasi.
Sikap kritis tidak dilarang tetapi menjadi persoalan jika konten atau medium kritiknya menggunakan simbol yang memiliki irisan nilai negatif (seperti bendera one piece).
Lebih bermasalah lagi ketika simbol (dalam bentuk bendera one piece) tersebut disejajarkan atau disandingkan atau walau dikibarkan di bawah bendera merah putih di saat warga bangsa bereforia dengan mengibarkannya (bendera merah putih) selama bulan Agustus ini.
Beredarnya bendera one piece merupakan bentuk desakralisasi merah putih sebagai bendera bangsa sekaligus wujud krisis nasionalisme pada anak bangsa.
Saatnya penanaman nilai-nilai nasionalisme diurus dengan baik, serius, dan kreatif dengan menyisir semua level pendidikan mulai dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi agar anak bangsa tidak wara wiri mencari figur idola dari dunia maya dan negara lain di tengah banyak pahlawan yang lahir dari rahim negeri.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.