Kota Mataram

NTB Jadi Wilayah Konflik Agama Tertinggi ke-4 di Indonesia, Kemenag Mataram Perkuat Deteksi Dini

Kemenag Kota Mataram menggelar FGD yang berfokus pada penguatan deteksi dini terhadap konflik sosial berdimensi agama

Penulis: Ahmad Wawan Sugandika | Editor: Laelatunniam
TRIBUNLOMBOK.COM/WAWAN SUGANDIKA
KONFLIK KEAGAMAAN - Kemenag Kota Mataram menggelar Focus Group Disvussion (FGD) yang berfokus pada penguatan deteksi dini konflik sosial berdimensi agama, Rabu (6/8/2025). Kepala Kemenag Kota Mataram, H. Hamdun, menyampaikan NTB berada di urutan ke 4 dalam jumlah konflik keagamaan di Indonesia. 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Ahmad Wawan Sugandika

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – Kementerian Agama (Kemenag) Kota Mataram menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang berfokus pada penguatan deteksi dini terhadap konflik sosial berdimensi agama yang beberapa kali terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Kegiatan ini dilaksanakan di aula Kantor Kemenag Kota Mataram dan diikuti oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, pemangku kebijakan, insan pers, serta unsur terkait lainnya, pada Rabu (6/8/2025).

Dalam sambutannya, Kepala Kemenag Kota Mataram, H. Hamdun, menyampaikan, pelaksanaan FGD ini merupakan bagian dari ikhtiar bersama untuk menjaga ketenteraman dalam kehidupan beragama di tengah masyarakat, khususnya di wilayah Kota Mataram.

Hamdun mengungkapkan, secara nasional telah terjadi sebanyak 80 kasus konflik keagamaan di Indonesia selama kurun waktu 2011 hingga 2025.

“Rinciannya, sebanyak 59 kasus merupakan konflik internal keagamaan dan 21 kasus merupakan konflik antar agama,” ujar Hamdun.

Lebih lanjut, ia menjelaskan dalam kurun waktu 2019–2022, daerah yang paling banyak mengalami konflik keagamaan adalah Aceh, Jawa Barat, DKI Jakarta, NTB, Riau, Sumatera Barat, Banten, Bengkulu, Jambi, dan Kalimantan Barat.

“Jadi, NTB berada di urutan ke 4 dalam jumlah konflik keagamaan di Indonesia. Ini perlu kita antisipasi, sehingga pelaksanaan kegiatan ini sangat penting untuk dipahami dan disikapi bersama oleh seluruh pemangku kepentingan, ormas, dan masyarakat,” jelasnya.

Menurut penilaian Kemenag Kota Mataram, beberapa faktor penyebab munculnya konflik keagamaan di antaranya adalah persoalan atribut, ekspresi keagamaan yang berlebihan, konflik terkait rumah ibadah, penyesatan ajaran, dan lain-lain.

Hamdun juga menyebutkan, konflik keagamaan di Kota Mataram di antaranya berkaitan dengan pembangunan rumah ibadah yang bersifat internal umat Islam, serta kemunculan paham baru yang dipaksakan dan menyalahkan paham lainnya.

Untuk mencegah dan mendeteksi dini potensi konflik keagamaan di masyarakat, Hamdun meminta seluruh petugas Kemenag di lapangan agar segera melaporkan informasi yang ditemukan dalam waktu maksimal 1 x 24 jam.

Dalam hal penanganan konflik keagamaan, ia juga menegaskan bahwa semua pihak tidak boleh menggunakan tindakan seperti pengucilan, main hakim sendiri, perundungan (bullying), dan tindakan sewenang-wenang lainnya.

“Tokoh agama memegang peranan strategis dalam meredam, memperbesar, ataupun mengecilkan potensi konflik dalam kehidupan beragama,” pungkasnya.

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved