Opini
Menunggu Keseriusan Kejati NTB dalam Menangani Kasus Dugaan Dana ‘Siluman” Pokir
Kejati NTB harus mampu menyelidiki alur dana secara menyeluruh, membuktikan unsur pidana, serta berani menindak tanpa terpengaruh tekanan politik.
Oleh : Dr. Maharani
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Pada tanggal 24 juli 2025 yang lalu, dua orang Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nusa Tenggara Barat (NTB) di panggil oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB. Pemanggilan itu dalam rangka pemeriksaan terkait beredarnya adanya dana ‘Siluman” Pokok Pikiran (Pokir) anggota DPRD NTB. Kedua Wakil DPRD NTB tersebut diperiksa langsung oleh Tim Pidana Khusus (Pidsus).
Dua Wakil Ketua DPRD NTB yang hadir dalam pemeriksaan tersebut yaitu Lalu Wirajaya dari Partai Gerindra dan Yek Agil Al-Haddar dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), terkait dugaan penyelewengan dana pokok-pokok pikiran (pokir) atau yang disebut sebagai "dana siluman" dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2025.
Menurut informasi yang beredar di media online, pemeriksaan ini dilakukan untuk mendalami asal-usul dan prosedur penyaluran dana pokir yang dialokasikan kepada anggota DPRD NTB, khususnya kepada anggota baru hasil Pemilu 2024. Dana tersebut sebelumnya dialokasikan untuk anggota dewan lama, namun diduga dialihkan secara tidak transparan setelah pergantian keanggotaan.
Pengelolaan dana pokok-pokok pikiran (pokir) anggota DPRD diatur dalam kerangka hukum yang ketat, agar tidak terjadi penyimpangan anggaran dan praktik koruptif. Namun, dalam kasus yang mencuat di DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dugaan pelanggaran terhadap sejumlah peraturan dan undang-undang muncul ke permukaan, setelah terungkapnya alokasi dana pokir yang disebut sebagai “dana siluman” senilai Rp182 miliar.
Penulis mencoba mendalami potensi pelanggaran peraturan yang terjadi pada anggaran Pokir DPRD NTB yang oleh publik disebut sebagai “Dana Siluman” ini yaitu: terjadinya Penyusupan Anggaran di Luar Prosedur. Jika dana pokir sebesar Rp182 miliar dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan belanja daerah (APBD) tanpa melalui tahapan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), atau input Sistim Informasi Pemerintah Daerah (SIPD), maka ini bisa dikategorikan sebagai bentuk penyusupan anggaran, yang melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 86 Tahun 2017 tentang tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan evaluasi Daerah.
Potensi Penyalahgunaan Wewenang juga akan terjadi dalam Kasus “Dana Siluman” ini. Apabila terbukti ada intervensi anggota dewan atau pejabat eksekutif untuk mengubah alokasi anggaran demi kepentingan pribadi atau kelompok, hal ini berpotensi melanggar Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.
Selanjutnya Penerimaan Fee/Gratifikasi yang diisukan terjadi, juga akan berdampak kepada konsekuensi hukum. Adanya dugaan pemberian “jatah fee” kepada anggota dewan baru sebesar 15 persen dari nilai pokir (sekitar Rp300 juta per orang) dapat dikualifikasikan sebagai gratifikasi atau suap. Ini merupakan pelanggaran Pasal 12B dan Pasal 11 Undang-Undang Tipikor, yang mengatur bahwa setiap penyelenggara negara dilarang menerima hadiah atau janji dalam kaitan dengan jabatan.
Menunggu Keseriusan Kepala Kejati Yang Baru
Pada tanggal 4 Juli 2025 yang lalu, Jaksa Agung Republik Indonesia (RI) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 352 dan 353 Tahun 2025 yang menyatakan pergantian jabatan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTB, Wakajati, Asisten Pidsus, Asisten Intelijen, serta beberapa Kajari di wilayah NTB. Pergantian ini diumumkan oleh Kasi Penkum Kejati NTB, Efrien Saputera, pada media lokal dan nasional
Wahyudi ditunjuk sebagai Kepala Kejati NTB yang baru, menggantikan Enen Saribanon yang dipromosikan ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) sebagai Inspektur I di Kejagung.
Kini di bawah kepemimpinan Wahyudi, masyarakat NTB memiliki harapan tinggi terhadap keseriusan pendekatan pemberantasan korupsi, termasuk pengusutan materil kasus dana siluman pokir.
Salah satu tantangan terbesar Kejati NTB adalah korupsi terstruktur, yaitu praktik penyimpangan anggaran yang terjadi secara sistemik dalam mekanisme pemerintahan. Kasus yang sedang mencuat saat ini, seperti dugaan dana siluman pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD senilai Rp182 miliar, menggambarkan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang secara kolektif yang melibatkan legislatif dan kemungkinan eksekutif.
Dalam konteks ini, Kejati NTB harus mampu menyelidiki alur dana secara menyeluruh, membuktikan unsur pidana, serta berani menindak tanpa terpengaruh tekanan politik. Masyarakat akan mengukur keseriusan lembaga ini dari apakah kasus besar seperti itu ditangani tuntas atau hanya berakhir sebagai klarifikasi formal.
Secara teknis, Kejati NTB juga menghadapi tantangan dalam bentuk keterbatasan SDM dan alat penunjang penyidikan. Banyak kasus korupsi membutuhkan audit forensik, pelacakan aliran dana digital, serta dukungan teknologi informasi yang memadai.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.