Kehidupan Mantan PMI Lebanon
Cerita Ibu di Lombok Timur Besarkan 6 Anak Sendirian Usai Suaminya Meninggal di Medan Perang Lebanon
Rusehan bekerja serabutan hingga menjadi tukang ojek untuk membiayai kebutuhan dapur usai suaminya meninggal akibat perang.
Penulis: Toni Hermawan | Editor: Idham Khalid
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Toni Hermawan
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TIMUR - Rusehan wanita paruh baya, warga Suralaga, Kecamatan Suralaga, Lombok Timur hidup serba kekurangan usai suami yang dinikahi warga Lebanon meninggal dunia akibat bom 2020 lalu.
Rusehan menceritakan, dirinya berangkat tahun 1998, sebelum tinggal di Lebanon, Rusihan bekerja di Suriah sebagai pekerja rumah tangga. Dua tahun setelah itu, tepatnya tahun 2000, Rusihan menikah dengan Muhammad Ali Rawas, warga berkebangsaan Lebanon.
Selanjutnya pulang ke Indonesia tahun 2017 membawa keenam anaknya, empat laki-laki dan dua perempuan. Menurut rencana suaminya akan menyusul ke tanah air melihat anak-anaknya.
“Awalnya ngontrak juga dan suami terus kirim uang,” kata Rusehan saat ditemui, Kamis (24/7/2025).
Dia melanjutkan, biaya kehidupan selama tanah air tetap diberikan sang suami, meskipun saat itu tengah ada perang. Namun sayang, menerima informasi kematian sang suami melalui Email dari KBRI di Lebanon sekitar tahun 2020.
“Sejak saat itu gak ada kirim uang dan keluarga di sana juga tidak ada kabar, mereka juga kondisi lagi susah,” sambungnya.
Setelah itu, Rusehan bekerja serabutan hingga menjadi tukang ojek untuk membiayai kebutuhan dapur.
“Kadang ojek ke Mataram ada TKW mau medical, kadang dapat Rp100 ribu kalau ke Selong Rp35 ribu, Rp50 ribu kadang dikasih beras,” ucapnya.
Rusehan mengaku saat ini seperti tidak memiliki keluarga, lantaran keluarga dinilai tidak peduli, meskipun demikian, dia tetap membesarkan anak-anaknya di tengah keterbatasan.
Baca juga: Gapasdap Mulai Berhitung Jika Terjadi Penutupan Selat Hormuz Imbas Perang Israel-Iran
Dia membesarkan anak-anaknya di sebuah rumah dari program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dengan dua kamar tidur, dapur, dan teras yang terkadang tempat berkumpul untuk istirahat.
“Saya diam, ada kasih ubi saya makan, kadang dua hari gak masak, ada yang kecil menjerit lapar, kasih air,” akunya.
Untuk merubah nasib, anak pertamanya usai tamat SMA berangkat ke luar negeri untuk bekerja. Namun saat ini belum dapat mengirim ke Indonesia dengan jumlah besar lantaran harus membayar utang belasan juta untuk biaya keberangkatan.
“Dia juga meminjam Rp2 juta untuk kirim, tapi gak mungkin untuk tiga bulan,” katanya.
Untuk biaya berobat dirinya harus merogoh kocek, sebab tidak memiliki BPJS Kesehatan hanya tiga orang anaknya yang mendapatkan jaminan kesehatan.
“Orang Australia (donatur) kirimkan uang untuk bayar rumah sakit,” pungkasnya.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.