Opini
Pengelolaan Sampah dan Keseriusan Political Will Pemerintahan SMART
Pengelolaan sampah tidak akan pernah berhasil selama manusia penghasil sampah tidak memiliki kesadaran
Dari pasal di atas jelas pertanggungjawaban yang di minta regulasi kepada kita semua sebagai pelaku bahwa frase "setiap orang" merujuk kepada seluruh manusia Indonesia bertanggungjawab menangani sampah dengan basis kesadaran. Dengan demikian mekanisme penanganan sampah tidak bisa serampangan. Ada mekanisme edukatif kepada masyarakat secara menyeluruh untuk memahami persoalan sampah. Pengelolaan sampah merupakan sesuatu yang penting di ketahui dampak dan akibatnya ketika masyarakat abai dan tidak bijak menangani sampah.
Pertanyaannya apakah proses pendidikan penyadaran masyarakat sudah di lakukan secara komprehensif untuk penanganan sampah? Lalu siapa saja yang dilibatkan?
Keseriusan pemerintah daerah
Pada pemerintahan baru SMART persoalan isu sampah, penulis dengar menjadi atensi kepala daerah. Persoalan sampah harus di tangani secara serius. Bahkan Keinginan Bupati Lombok Timur membangun TPST di lima dapil. Namun keinginan itu tidak akan efektif jika tidak di ikuti dengan political will kepala daerah dalam bentuk kebijakan nyata: keberpihakan anggaran dan sistem perencanaan yang berkesinambungan.
Untuk mendorong penanganan sampah secara komprehensif harus berbasis kolaborasi dengan berbagai pihak dan multi stakeholder. Semua elemen masyarakat harus di libatkan dan di ajak urun rembuk membicarakan strategi dan langkah-langkah konkret aksi penanganan sampah. Kehadiran komunitas pegiat sosial juga stakeholder swasta dalam forum multi stakeholder menjadi penting di inisiasi pemerintah.
Kerja kolaboratif antar semua pihak adalah jawaban dari persoalan penanganan sampah kita yang semakin hari terus bertambah. Kerjasama lintas pemangku kepentingan juga harus diintensifkan sebagai jaringan supra struktur penanganan sampah. Pemerintah tidak akan mampu mengatasi dan menangani persoalan sampah ini jika hanya menggunakan pendekatan birokrasi an sich. Sebab sampah tidak ada di birokrasi tetapi hadir di tengah masyarakat.
Pemerintah harus berani berbagi Kerja dan kegiatan dengan kelompok sipil dan pegiat sosial lainnya. Ego sektoral harus di eliminasi. Saatnya kerja kolaboratif antara masyarakat dan pemerintah di gelorakan. Karena tidak semua hal bisa di kerjakan birokrasi pemerintahan. Kerja-kerja advokasi, pengorganisasian dan pendidikan komunitas tidak bisa di kerjakan birokrasi pemerintahan. Pemerintah cukup menjadi leader program. Biarkan Kerja pendidikan penyadaran menjadi tugas kelompok sipil dan lembaga pegiat sosial lainnya.
Kepala daerah cukup menjadi pemberi suport kebijakan menyiapkan keberpihakan anggaran kepada instansi dinas yang menjadi leading sektor agenda penanganan sampah dalam hal ini dinas lingkungan hidup dan kehutanan beserta Bappeda Lombok Timur.
Pemerintah butuh menyiapkan sistem monetisasi bagi terbangunnya kesadaran warga berbasis komunitas. Baru kemudian menyiapkan aksi berikutnya untuk mengeksekusi sampah yang terbagi menjadi dua zonasi yaitu sampah rumah tangga desa dan sampah rumah tangga kota.
Pada akhirnya kita butuh keseriusan dan komitmen kepala daerah dan lembaga legislatif untuk membuktikan komitmennya membangun sistem pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan dengan keberpihakan anggaran dan sistem kolaboratif bersama rakyat sehingga menghadirkan kebijakan SMART.
Abolisi dan Amnesti Prabowo, Rekonsiliasi Demi Persatuan Bangsa |
![]() |
---|
Fornas di NTB: Daya Tarik Wisata Hingga Kalkulasi Ekonomi Sang Gubernur |
![]() |
---|
Kebijakan Pembiayaan Partai Politik oleh Negara |
![]() |
---|
Gemuruh Body Contest: Mencari Titik Temu Etika, Budaya dan Olahraga di Negeri Seribu Kearifan |
![]() |
---|
Seni Pertunjukan dan Pariwisata NTB: Menyatukan Identitas, Menembus Globalisasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.