Opini

Musrenbang GEDSI dan Ikhtiar NTB Berkeadilan

Pemerintah sebagai entitas sosial tidak bisa abai dengan keberadaan berbagai entitas sosial lainnya yang hidup dalam satu daerah tersebut. 

|
Editor: Sirtupillaili
Dok.Istimewa
Amir Mahmud. Penulis merupakan peneliti pada Lombok Riset Center. 

Oleh: Amir Mahmud 
*Peneliti pada Lombok Riset Center

Musrenbang GEDSI yang dilakukan pemerintah provinsi sebagai ikhtiar membangun NTB patut kita apresiasi sebagai langkah strategis menghadirkan banyak pihak terlibat mengelola sumber daya yang dimiliki daerah untuk kemaslahatan bersama. 

Konsep GEDSI sendiri adalah akronim dari Gender, Disabilitas dan Inklusi sosial. Pada dasarnya konsep ini merupakan ikhtiar banyak pihak untuk mengakses setiap kebijakan agar menjadi partisipatif dan menciptakan keadilan bagi semua pihak.

Di era keterbukaan seperti sekarang, melibatkan banyak pihak sebagai bagian pembangunan adalah keniscayaan. Pembangunan tanpa pelibatan berbagai pihak-identitas sosial yang ada akan melahirkan ketimpangan dan minim keadilan. Sebab objek pembangunan tidak terdiri dari satu entitas sosial namun beragam. 

Pemerintah sebagai entitas sosial tidak bisa abai dengan keberadaan berbagai entitas sosial lainnya yang hidup dalam satu daerah tersebut. 

Sebagai entitas formal negara, pemerintah dalam setiap kebijakannya harus pro-aktif mengajak semua pihak terlibat menyusun dan melaksanakan perencanaan pembangunan demi tercapainya kepentingan bersama.

GEDSI menjadi frame work konkret, menghadirkan keadilan bagi semua pihak dalam rangka menciptakan kesetaraan dan kebersamaan menuju kesejahteraan. 

Spirit kebijakan pembangunan NTB di bawah kepemimpinan Iqbal-Dinda tidak boleh hanya sekedar "pemanis ucapan" dalam sebuah forum. Ia harus tuntas sampai tindakan.

Sambutan wakil gubernur pada pembukaan GEDSI yang diselenggarakan Bappeda NTB memberikan angin segar kebijakan pemerintahan Iqbal-Dinda berbasis Inklusi sosial dan partisipatif. Namun, mudahan bukan sekedar gimick di ruang publik. 

Pertanggungjawaban moral tidak hanya pada janji politik tetapi juga lebih mendasar adalah pertanggungjawaban moral terhadap tindakan berbahasa.

Berbahasa mungkin tindakan remeh-temeh tapi dari tindakan berbahasa akan lahir pertanggungjawaban moral dan sosial yang mendalam. Sebelum ada tindakan, terlebih dahulu berbahasa telah mengandung moralitas yang harus diwujudkan dengan pembuktian bertindak.

Konsep GEDSI sebagai aktivitas berbahasa tidak boleh menjadi "lipstik politik" kebijakan. Hanya menenangkan publik. Cepat atau lambat konsep itu akan menuntut pertanggungjawaban moralnya kepada pelaku. Mungkin tidak dalam waktu dekat, seiring berjalannya waktu pertanggungjawaban itu akan membatasi dan memberikan vonis.

Napoleon Bonaparte pernah bilang: "Dia yang hanya mempraktikkan kebaikan untuk mendapatkan ketenaran sangat dekat dengan keburukan".

Artinya jika komunikasi politik yang di tampilkan pejabat publik (wagub) hanya sekedar untuk membangun popularitas menciptakan harapan palsu bagi publik, maka konsekuensinya cepat atau lambat lingkungan sosial akan memberikan sanksi: keburukan.

Pelibatan Komunitas

Halaman
12
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved