Opini

Governansi Kolaboratif Melawan Darurat Kekerasan Seksual NTB

Pemerintah, tokoh pendidikan, agama, masyarakat, dan seluruh pihak harus turun tangan dalam melindungi generasi penerus dari kekerasan seksual.

Editor: Sirtupillaili
ISTIMEWA
Dr H Ahsanul Khalik. Penulis merupakan Staf Ahli Gubernur NTB bidang Sosial Kemasyarakatan. 

Pendidikan mengenai tubuh, hak-hak anak dan perempuan, serta bagaimana mengenali dan melindungi diri dari pelecehan harus dimasukkan ke dalam kurikulum formal dan informal. 

Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota perlu memasukkan materi ini dalam pelatihan guru dan kurikulum madrasah atau pesantren.

Penguatan norma dan nilai yang berbasis hak asasi manusia harus digaungkan. Tokoh agama memiliki peran penting untuk mengembalikan fungsi ajaran agama sebagai pelindung martabat manusia, bukan tameng bagi para pelaku kekerasan. 

Ceramah-ceramah keagamaan, khutbah jumat, pengajian ibu-ibu, hingga mimbar komunitas harus digunakan untuk menyuarakan perlindungan terhadap perempuan dan anak.

Penting pula menciptakan lingkungan yang aman: seperti penerangan jalan, ruang publik yang ramah anak, pengawasan yang sistematis di sekolah, pondok pesantren dan Perguruan Tinggi, serta akses terhadap pelaporan yang mudah dan tidak mengintimidasi korban.

Tak kalah penting adalah penguatan ekonomi perempuan. Ketergantungan ekonomi membuat sebagian perempuan atau ibu dari korban tidak berani melapor karena takut kehilangan sumber penghidupan. 

Di sinilah peran Tim Penggerak PKK Provinsi maupun Kabupaten/Kota menjadi strategis, melalui program pemberdayaan ekonomi berbasis rumah tangga dan komunitas.

Berikutnya strategi penanganan, perlindungan dan pemulihan korban juga menjadi perhatian yang sangat penting. Saat kasus terjadi, negara harus hadir total. 

Penanganan kasus membutuhkan sistem pelaporan yang mudah, aman, dan menjamin kerahasiaan korban. Adanya layanan yang mudah diakses dan tanggap harus pula disosialisasikan secara luas dan dijadikan pintu masuk bagi korban untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan.

Pemerintah Provinsi NTB melalui Dinas Sosial dan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana NTB harus menjadi garda depan dalam layanan terpadu. 

Tak hanya memperkuat  pusat layanan hukum, psikologi dan sosial, tetapi juga membangun sistem rehabilitasi sosial dan perlindungan yang menjangkau hingga desa-desa melalui jejaring dengan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA), Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), kader Posyandu dan kader Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP - PKK).

Pendampingan korban secara psikologis, hukum, dan sosial harus menjadi standar layanan. Pekerja sosial dapat berfungsi sebagai pelindung, fasilitator, hingga pengacara masyarakat bagi korban. 

Pemulihan korban tidak cukup dilakukan sekali terapi, tetapi memerlukan proses jangka panjang melalui pendekatan komunitas dan pemulihan berbasis trauma.

Tak kalah penting adalah bagaimana mewujudkan strategi penindakan yang tegas dan tak pandang bulu. Penegakan hukum harus tegas dan tak pandang bulu. 

Pelaku kekerasan seksual harus dijerat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang memberikan sanksi tegas dan melindungi hak korban. Pasal-pasal dalam UU ini juga mengatur pemulihan korban sebagai bagian dari keadilan.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved