Opini
Masnun Melawan Mitos Suksesi UIN Mataram
Pertarungan Masnun dalam kontestasi kali ini adalah perjuangan menggugat mitos, menggoyang struktur, dan membalik hegemoni kuasa yang terlembaga.
Keberhasilannya justru menantang struktur patronal yang terbiasa dengan mobilitas jabatan sebagai bentuk rotasi kekuasaan.
Dalam struktur seperti ini, keberlanjutan sering kali dibaca sebagai bentuk dominasi yang harus segera dibatasi, bukan sebagai kesinambungan yang patut dirayakan.
Inilah yang disebut Pierre Bourdieu sebagai arena kekuasaan, di mana berbagai bentuk modal berkompetisi untuk menentukan siapa yang layak berkuasa.
Dalam arena ini, modal ekonomi mungkin tidak dominan, tetapi modal simbolik dan modal sosial memainkan peran sentral.
Masnun memiliki modal simbolik yang kuat seperti kinerja yang terbukti, kepercayaan komunitas kampus, dan posisi sebagai incumbent. Namun, pesaingnya datang dengan modal sosial dan kultural yang tak kalah kuat yaitu jaringan politik, kedekatan dengan tokoh kunci di pusat, dan afiliasi kultural-religius yang mengakar.
Dalam kondisi seperti ini, pertarungan tidak lagi bersifat teknokratik atau akademik, tetapi merupakan kontestasi penuh antara dua bentuk dominasi simbolik yang sama-sama sahih dalam arena kekuasaan.
Namun yang menjadikan pertarungan ini lebih kompleks adalah hadirnya mitos institusional yang selama ini tidak pernah ditantang secara serius.
Ketidakterpilihan rektor dua periode sebelumnya bukan semata akibat kekurangan kompetensi, tetapi bagian dari struktur simbolik yang menganggap bahwa jabatan dua periode sebagai sesuatu yang tabu atau bahkan tidak layak.
Dalam mitos ini, pergantian adalah keharusan, dan keberlanjutan adalah deviasi. Maka siapapun yang mencoba bertahan, meskipun dengan legitimasi yang kuat, akan berhadapan dengan resistensi sistemik yang tidak kasat mata, tetapi bekerja melalui wacana, tafsir, dan sinyal-sinyal kekuasaan.
Masnun dalam konteks ini bukan sekadar berkompetisi untuk mempertahankan jabatan, tetapi melawan narasi dominan yang mengekalkan diskontinuitas sebagai bentuk kewajaran.
Pertanyaannya kemudian, apakah Masnun memiliki kekuatan untuk melawan struktur ini? Secara empirik, ia menghadapi tantangan besar. Relasi kuasanya dengan pusat menjadi tanda tanya setelah adanya pergantian menteri.
Dalam sistem patronase, relasi personal dan kedekatan ideologis dengan elit kementerian adalah kunci. Ketika patron berubah, posisi klien pun bisa goyah.
Dalam kerangka ini, kekuatan simbolik Masnun sebagai pemimpin yang sukses bisa saja dikalahkan oleh kekuatan simbolik lain yang lebih dekat secara relasional dengan otoritas pusat.
Di sinilah letak ketegangan yang paling tajam yaitu antara kinerja dan kedekatan, antara legitimasi simbolik dan patronase politik.
Kontestasi ini menjadi gambaran konkret dari krisis epistemik dalam sistem birokrasi pendidikan Islam di Indonesia, di mana keberhasilan belum tentu identik dengan keberlangsungan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.