Berita Kota Mataram
Kasus Kekerasan Jurnalis Perempuan di NTB Dihentikan, FJPI Desak Polisi Gunakan UU Pers
FJPI menyesalkan keputusan Polresta Mataram yang menghentikan penyelidikan kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan berinisial YNQ
Penulis: Robby Firmansyah | Editor: Idham Khalid
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) menyesalkan keputusan Polresta Mataram yang menghentikan penyelidikan kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan berinisial YNQ, yang terjadi saat ia menjalankan tugas peliputan di Nusa Tenggara Barat (NTB).
FJPI mendesak kepolisian untuk kembali membuka kasus ini dan memprosesnya dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, karena korban mengalami kekerasan saat sedang menjalankan tugas jurnalistik.
Ketua Umum FJPI Pusat, Khairiah Lubis, menegaskan bahwa tindakan persekusi, intimidasi, hingga kekerasan fisik terhadap jurnalis tidak bisa dibenarkan secara hukum.
“Kami menyesalkan penghentian penyelidikan kasus kekerasan ini oleh Polresta Mataram. FJPI akan mengadukan kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan dan penghentian penyelidikan kasus ini ke Dewan Pers,” tegas Khairiah dalam keteranagn yang resmi yang diterima, Jumat (11/4/2025).
Ia menekankan, sesuai Pasal 8 UU Pers, jurnalis berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya. Lebih jauh, Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa pers berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi, sedangkan ayat (3) menegaskan bahwa kebebasan pers dijamin dan harus dilindungi dari segala bentuk intervensi.
Menurut Khairiah, tindak kekerasan yang dialami korban telah menimbulkan trauma. Hal itu dibuktikan dari hasil tes psikologi dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram yang menyebutkan korban mengalami trauma berat dan tertekan. Apalagi, korban mengalami kekerasan saat sedang bekerja dalam kondisi hamil.
Baca juga: 41 Pria di Karang Bagu Kota Mataram Ditangkap Kasus Narkoba
Ketua Divisi Hukum FJPI, Devy Diani, mendesak agar kepolisian menggunakan UU Pers dalam menangani kasus ini. Ia mengingatkan bahwa antara Dewan Pers dan Polri telah memiliki nota kesepahaman untuk perlindungan kerja jurnalistik.
“Hal ini sesuai dengan MoU yang sudah disepakati antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Dewan Pers yang tertuang dalam surat Nomor 03/DP/MoU/III/2022 dan Nomor NK/4/III/2022, tentang Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum dalam Kaitan dengan Penyalahgunaan Profesi Wartawan,” jelas Devy.
Devy menambahkan, perjanjian kerja sama tersebut merupakan turunan dari nota kesepahaman Dewan Pers dan Mabes Polri yang bertujuan mencegah kriminalisasi terhadap karya jurnalistik dan jurnalis di lapangan.
“PKS pertama ini merupakan turunan dari nota kesepahaman Dewan Pers-Mabes Polri yang telah disepakati sebelumnya. Tujuan utama PKS tersebut untuk meminimalkan kriminalisasi terhadap karya jurnalistik,” jelas Devy.
Dalam UU Pers, ketentuan pidana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan, setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.