Opini

Pemimpin Baru dan "Demokrasi Partisipatif"

Saatnya kita menagih janji politik dan janji nurani yang diumbar dalam setiap kunjungan dan kampanye politik

Istimewa
Amir Mahmud. 

Oleh: Amir Mahmud
Warga NTB

Dalam salah satu bab pada buku "Human Kind", karangan Rutger Bregman, ada satu sub judul menarik yang sangat turn in dengan situasi demokrasi bangsa kita hari ini. judulnya : Demokrasi sejati. Pada prinsipnya "Demokrasi sejati" menekankan partisipasi warga dalam pengambilan sebuah kebijakan dalam otoritas politik (publik) dan pemerintahan.

Demokrasi modern yang selama ini kita operasikan sebagai sistem politik dan pemerintahan lebih banyak di putuskan di dalam ruangan pengap nir partisipasi publik dengan fasilitas ber-AC, dengan beberapa biji kursi dari kayu berkelas yang di tebang di hutan lindung penyangga paru bumi dan di kelilingi meja-meja furniture yang telah di pahat indah tangan-tangan kreatif homo economicus. Kemudian di kelilingi  segelintir individu tanpa menyentuh persoalan dan kebutuhan mendasar warga sebagai pemilik kedaulatan politik, memutuskan sebuah kebijakan dengan "tangan besi dan kompromi elit" dalam sirkus politik lokal.

Fenomena politik kita tidak lebih dari sirkus lokal yang hanya memainkan beberapa peran dalam sebuah pertunjukan dengan lakon demokrasi prosedural.

Naskah pembangunan hanya sebuah coretan di atas kertas yang kadang hanya di pegang atau bisa juga (sudah di hapal) dalam dialog namun hanya sekedar gimick dalam pentas. Tak ada yang sungguh-sungguh lahir dari nurani para pemeran lakon. Semuanya hanya pencitraan demi menjaga nalar dan mood para penonton agar tidak terjadi chaos dalam arena sirkus. 

Namun, bisakah kita saling percaya di antara sesama warga?. Bisakah kita percaya para politisi kita pada dasarnya baik?. Bisakah kita mengakhiri drama politik seperti itu?. Bisakah kita mulai membangun fondasi politik kita dari saling percaya?. 

Rutger bregman, dalam bukunya human kind: sejarah penuh harapan. Dalam satu sub judul "demokrasi sejati" mengelaborasi sebuah penemona demokrasi sejati di sebuah kota di Venezuela, Amerika Latin. Pada sekitar 2004, terjadi pemilihan walikota tores. dia menceritakan penomena politik demokrasi yang kita jalani sekarang ini, sebagai yang dia sebut: demokrasi yang sudah tua dan lelah. 

Sebab pada pemilihan tahun itu ada tiga kandidat bertarung. Adalah Javier Oropeza, tuan tanah kaya yang di dukung media komersial, kemudian Walter Cattivelli yang di dukung partai berkuasa presiden Hugo Chavez. Dua kandidat itu di dukung dengan kekuatan politik oligarki serta dukungan elit partai penguasa. 

Siapapun yang menang diatara kedua kandidat tersebut tores tidak akan pernah mencipta ulang demokrasi atau menawarkan masa depan baru demokrasi yang lebih baik. Sebab keduanya adalah warisan oligarki dan elit kekuasaan. 

Dan satu kandidat lain lagi dan tidak begitu diperhitungkan adalah Julio Chavez yang tidak memiliki hubungan kekarabatan dengan presiden Hugo Chavez. Julio Chaves sendiri merupakan agitator penggiran yang di dukung oleh kelompok kritis warga(mahasiswa) dan dari kalangan aktivis serikat buruh, warga biasa, dan kelompok koprasi.

Penomena demokrasi kita hampir tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di tores, Venezuela, dua puluh satu tahun lalu. Dunia politik kita di kendalikan elite-elite pemodal (oligarki) dan politisi rakus. 

Otoritas kekuasaan dalam urusan publik menjadi milik segelintir individu istimewa dalam kelembagaan partai dan pemegang sumber daya modal dengan afiliasi kepada elit pemegang otoritas kuasa dan birokrasi. 

Sirkulasi demokrasi kemudian tidak mengalami kemajuan apalagi menghadirkan subtansial demokratik.

Elemen-elemen penyokong demokrasi justru mengalami degradasi bahkan penurunan kualitas. Demokrasi kita menjadi kering gagasan bersama warga. Partisipasi menjadi langka. Perbedaan pandangan tidak lagi menyuburkan alam ide dan dialog antar kepentingan.

Masyarakat sebagai subjek Demokrasi dan pembangunan pelan-pelan mengalami proses keterasingan dari wadahnya. 

Keberadaan negara sebagai konsekuensi perjanjian rakyat sebagaimana teori sejarah pembentukan sebuah negara kemudian terus tergerus kepada penghilangan makna dan fungsi control terhadap institusi negara. Rakyat di jauhkan dari keterlibatan membangun dan merawat keutuhan bangsa sendiri. 

Proses-proses alienasi sejak lama telah dilakukan oleh state aparatus mulai dari institusi eksekutif,legislatif dan yudikatif. Bahkan dalam aspek-aspek penting keterlibatan masyarakat cenderung tidak di ajak untuk berpartisipasi. Misalnya saja pada aspek penyelenggaraan atau minimal akses terhadap proses dan dokumen penganggaran cenderung tertutup.

Padahal secara konstitusional kita dapat membaca dan menilai pesan konstitusi bagi penyelenggara negara atau pemerintahan agar terbuka dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban kekuasaan yang diemban. 

Berikan ruang seluas-luasnya untuk keterlibatan warga mengelola politik dan mengatur negara dan daerahnya. Jangan biarkan warga berjarak dengan politikusnya. Sehingga secara tidak langsung terbangun kesadaran bahwa ada tanggungjawab moral menjaga sirkulasi politik dan kepemimpinan terjaga dengan baik dalam setiap proses kontestasi kepemimpinan.

Demokrasi modern yang kita jalankan sekarang ini adalah demokrasi yang kita mulai sadari penuh kesenjangan. "Demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat" hanya selogan tanpa makna. 

Demokrasi modern sebagai sistem yang dianggap paling memungkinkan menjamin nilai-nilai kehidupan yang berkeadilan, imparsial, setara dalam hak dan kewajiban dalam semua aspek pembangunan baik sosial, ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan dan infrastruktur penunjang justru mengalami proses pelemahan dan pembatasan sampai pada prosedural.

Reformasi sebagai jembatan memperbaiki sistem politik dan pemerintahan totaliter dan korup malah menciptakan kelas sosial baru yang juga memiliki karakter yang tak jauh berbeda dengan watak elit politik era sebelumnya. Bahkan pengganti nya jauh lebih menyedihkan sebab lahir dari rahim intelektual kritis yang menumbangkan rezim totaliter.

Pemimpin baru harapan baru

Semua proses prosedural demokrasi telah tuntas. Saatnya kita menagih janji politik dan janji nurani yang diumbar dalam setiap kunjungan dan kampanye politik yang di sampaikan di setiap tempat wajah rakyat. Saatnya membuktikan setiap kata yang di susun menjadi kalimat berubah menjadi nyata dalam kehendak politik kerakyatan.  

Gagasan politik yang di sampaikan pada setiap kali berpidato pada forum-forum warga akankah menjelma menjadi harapan bagi rakyat. Seperti biasa politik kita tidak pernah benar-benar dewasa. "Siap menang, siap kalah" hanyalah ucapan tanpa makna. Selalu ada "balas dendam" politik dalam kenyataannya. 

Pemimpin baru harus berani merubah wajah politik lama menjadi lebih terbuka dan partisipatif. Berani mengambil pilihan politik diluar arus mainstrem selama ini. Hentikan politik akomodatif.  Berikan kesempatan kepada siapapun yang memiliki kompetensi untuk bekerja mewujudkan visi pembangunan yang berkeadilan bagi semua masyarakat.

Libatkan semua stekholder kerakyatan  sebagai mitra kerja pembangunan. Jadikan mereka sebagai subjek pembangunan. Tempatkan mereka pada posisi penentu dan penerima manfaat dari kebijakan yang di usung. Tujuan pembangunan kita adalah lahirnya keadilan, kemanfaatan, kehormatan dan kesejahteraan sebagai ujung dari cita-cita lahirnya Republik Indonesia. 

Semoga dengan kepemimpinan baru akan lahir harapan baru terwujudnya cita-cita masyarakat adil makmur dalam negeri gemah ripah loh jinawi. 

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved