Opini
OPINI: Transformasi Konflik Sosial di NTB
NTB bakal dipimpin oleh gubernur baru yang memiliki salah satu tanggung jawab untuk membereskan konflik yang telah terjadi
Penulis: Mohamad Baihaqi Alkawy
Peneliti di Genial Circle NTB
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Secara alamiah, konflik memang menjadi suatu yang niscaya, tak bisa dihindari dalam pergumulan sosial. Akan tetapi jika konflik tak diselesaikan dan dikelola dengan efektif, maka ancaman munculnya konflik laten akan selalu mengancam kohesi sosial di tengah kehangatan relasional antar warga. Karena itu, menutup tahun 2024, pemerintah NTB perlu menengok dan bercermin sejenak, bagaimana pola konflik sosial-agama yang terjadi dan bagaimana pengelolaannya?
Selama 2024, terjadi sujumlah konflik yang bergerak dengan pola laten misalnya antara warga Desa Ketare dan Anyar. Pun di tahun ini, konflik baru muncul dan meluas. Tak sekedar antar desa dalam satu kabupaten, melainkan juga lintas kabupaten seperti apa yang terjadi antara Dusun Buwuh, Meninting, Lombok Barat dan Desa Rembitan Lombok Tengah.
Tahun depan, kita tahu, NTB bakal dipimpin oleh gubernur baru yang memiliki salah satu tanggung jawab untuk membereskan konflik yang telah terjadi maupun mengantisipasi konflik tumbuh kembali. Hanya saja, begitu mendengar debat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur beberapa waktu lalu, optimisme untuk membereskan persoalan semacam ini menjadi pupus. Pasalnya, ketiga calon gubernur, tampak tak memiliki desain pengelolaan konflik yang terstruktur dan sistematis.
Dalam debat tersebut, terdapat dua cara pandang dalam menyelesaikan konflik. Pertama konflik dipahami sebagai semacam imbas dari lingkaran kemiskinan, sehingga untuk menyelesaikannya mesti terlebih dahulu menjamin kesejahteraan masyarakat. Paradigma makroskopik semacam ini sebetulnya lahir dari cara pandang simplistis yang mengandaikan seolah-olah jika sudah sejahtera konflik tak akan ada.
Dengan kata lain, cara pandang ini hendak menyederhanakan kompleksitas sosial karena hanya meilihat ekonomi sebagai solusi tunggal. Tegangan antar kelas berbasis ekonomi macam ini tak cukup kuat untuk menjawab kasus-kasus pertikaian sosial di NTB. Sebab tak ada negara atau wilayah yang setinggi apapun tingkat pendapatan per kapita atau tingkat kesejahteraan warga, lantas terjamin bebas dari pertikaian atau konflik sosial. Malah sebaliknya, limpahan ekonomi dapat menjadi pemicu gesekan antar kepentingan warga.
Baca juga: OPINI: Melawan Keraguan, Iqbal-Dinda Mengubah Dinamika Politik NTB
Selain itu, paradigma makroskopik di atas sebetulnya tak relevan untuk menjawab problem sosial di NTB yang tumbuh dalam heterogenitas kultural. Kelas ekonomi dan profesi tertentu tak mustahil terlibat aktif dalam konflik-konflik sosial. Taruh misalnya kepala desa dan aparat penegak hukum sekalipun dapat menjadi salah satu instrumen konfrontasi dengan pihak lain. Singkatnya, kesejahteraan secara ekonomi tak sepenuhnya dapat menjawab problem sosial masyarakat yang kompleks dan tak mudah diurai.
Begitu halnya dengan cara pandang kedua yang mengandaikan pertikaian sosial dapat dibereskan hanya dengan menggandeng tokoh-tokoh kunci dari segmen adat maupun agama dalam struktur sosial masyarakat. Padahal melibatkan tokoh-tokoh dalam organisasi tertentu selama ini tak berhasil membereskan maupun mengantisipasi konflik di akar rumput.
Tak jarang juga kepentingan atau pemahaman tokoh dan organisasi tertentu menyebabkan mereka jatuh dalam kubangan baru konflik sosial. Mereka, tokoh-tokoh kunci yang kerap ditunjuk jadi pihak ketiga kerapkali tak sepenuhnya netral, sebab masing-masing darinya membawa pemahaman dan kepentingan yang malah dapat memperlebar dan mempertajam konflik itu sendiri.
Hadirnya pihak ketiga tentu tak sepenuhnya dapat diterima oleh kedua kolompok yang bertikai. Itu sebabnya, hingga saat ini, tak ada praktik baik pengelolaan konflik di NTB yang patut dijadikan model dalam menghadapi konflik ke depan. Padahal jika konflik dapat dikelola secara efektif, tentu akan berdampak terhadap perubahan sosial yang lebih positif. Itulah mengapa, saya pesimis dengan pengelolaan konflik yang hendak dilakukan oleh gubernur baru NTB.
Transformasi Konflik
Konflik-konflik dan pertikaian berbasis agama yang telah mengkristal kini menunggu sentuhan pemimpin lewat kebijakan-kebijakan yang terstruktur dan sistematis. Jika tidak dilakukan, maka konflik lama akan terus terulang dan tak menutup kemungkinan akan muncul potensi konflik baru. Pengelolaan konflik berbasis transformasi menjadi tuntutan untuk menangani konflik sosial di NTB.
Pendekatan penanganan konflik semacam ini, mengandaikan konflik tak sekadar berdampak destruktif, akan tetapi juga bisa menjadi tanda perubahan menuju tatanan sosial yang lebih baik. Salah satunya lewat konsensus-konsensus yang terbangun pasca konflik itu memuncak. Hanya saja pendekatan semacam ini membutuhkan ketelatenan dari pemerintah untuk terus mengelola potensi konflik tertutup agar tak memuncak dan berimbas negatif.
Dari sini dibutuhkan analisa dan riset untuk terlebih dahulu membentangkan unit terkecil dari komponen sosial dalam bentuk relasi, instrumen dan elemen yang terlibat dalam konflik tersebut. Setelah adanya data kuat dan bacaan yang komprehensif terkait itu, pemangku kebijkan dapat mengambil langkah untuk menanganinya secara gradual. Turun ke tengah masyarakat untuk mengubah energi sosial yang mewujud menjadi solidaritas.
Solidaritas yang terbangun dalam unit terkecil di tingkat RT, lingkungan atau dusun dapat diubah menjadi tindakan nyata yang lebih konstruktif. Mengingat selama ini, pelbagai penanganan konflik yang dilakukan hanya berhenti di permukaan. Tak sedikit yang berpikir bilamana tokoh kunci dari kedua kelompok yang bertikai bertemu dan menandatangani perjanjian damai, lalu konflik pun selesai. Padahal ancaman di tingkat bawah lebih berpotensi besar karena adanya bara yang mereka simpan dalam dada masing-masing.
Bahkan kasus-kasus konflik sosial-agama di NTB memosisikan tokoh-tokoh adat atau agama tertentu sebagai pihak ketiga secara gegabah dan reaktif. Alih-alih dapat membereskan konflik, sebaliknya terjadi semacam spiral konflik yang disebabkan adanya pemikiran tertentu dari pihak ketiga yang berseberangan dengan salah satu pihak. Itu sebabnya, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik acapkali di permukaan menerima perjanjian damai, tapi di belakang mereka terus memendam amarah. Amarah masyarakat semacam itu tak bisa diredam hanya lewat perjanjian-perjanjian di atas kertas.
Pada titik ini, pengelolaan konflik ke depan, mesti mengubah pendekatan yang awalnya menggunakan pendekatan instrumental menjadi pendekatan transformatif yang mendorong instensitas kontrol di tengah zona konflik dengan terlebih dahulu menelaahnya secara komprehensif. Dari sini sosiolog dapat berperan penting sebelum aktor yang memiliki otoritas dapat bekerja di tengah masyarakat. Dengan begitu otoritas aktor yang menangani konflik dapat berjalan seirngin dengan kapasitas pengetahuan yang dimiliki.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.