Pria Disabilitas Rudapaksa Mahasiswi
Kronologi Lengkap Kekerasan Seksual yang Diduga Dilakukan Pria Disabilitas di Mataram
Selama persetubuhan terjadi, korban merasakan sakit sembari menangis terus berupaya melawan Agus namun tetap tidak bisa
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – I Wayan Agus Suartama (21) pria disabilitas asal Kota Mataram ditetapkan menjadi tersangka oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda NTB atas duggaan kasus pelcehan seksual.
Penetapan Agus sebagai tersangka kasus dugaan pelecehan itu belakangan menuai sorotan dari berbagai pihak, karena Agus membantah hal tersebut.
Berbagai tokoh dan praktasi hukum menyoroti kasus Agus, mulai dari pengacara kondang Hotman Faris hingga para pakar hukum pidana.
Kronologi Kekerasan Seksual
Koalisi Anti Kekerasan Seksual NTB mencatat kronologi kasus dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan Agus, bemula pada 7 Oktober 2024 sekitar Pukul 10.00 Wita, korban saat itu hendak membuat konten video.
Masih di tempat yang sama, korban didatangi pria yang tidak lain adalah Agus, yang memperkenalkan dirinya sebagai salah seorang mahasiswa bernama Iwas.
“laki-laki tersebut memperkenalkan nama dirinya Iwas dan mengaku juga mahasiswa di satu kampus yang sama dengan korban 1 yang sedang bolos ujian,” ungkap Rusdin Mardatillah salah satu pendamping korban dari Koalisi Anti Kekerasan Seksual NTB dalam keterangan tertulis, Selasa (3/12/2024).
Inti percakapan yang berlangsung singkat seputaran hal-hal yang ringan dari identitas, keluarga sampe terkait kuliah.
Korban saat itu tidak begitu fokus dengan sekali melihat ke arah wajah Iwas dan merasa tidak nyaman karena sesekali Iwas menanyakan hal yang sifatnya sangat pribadi mengarah ke seksualitas.
Tidak berselang lama, korban kaget dan kasihan tiba-tiba Iwas melepas almamaternya terlihat Iwas tidak memiliki kedua tangannya, padahal sebelumnya Korban mengira tangannya tersebut ada dan diletakkan di saku celana.
“Lalu dengan nada agak tegas Iwas mengaku kalo tadi dirinya berbohong karena sebenarnya dia adalah mahasiswa dari kampus yang tidak sama dengan korban 1 sekaligus sebagai guru Seni di salah satu SMK di Mataram,” kata Rusdin.
Di tengah rasa iba korban itu, Agus menyuruh korban menoleh ke arah sebelah kirinya korban (utara), tanpa disangka ada pasangan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sedang berbuat mesum dengan jarak yang tidak terlalu jauh.
Korban kaget saat itu merasa bingung dan menangis. Kemudian Iwas mengajak korban pindah berjalan kaki ke belakang Taman Teras.
Sesampainya duduk di sebuah berugak (gazebo), Iwas kemudian dengan nada tegas mengancam korban untuk diam, seolah Iwas memiliki kemampuan mistis dengan mengikat jiwa.
“sehingga tahu semua keburukan dari korban dan akan melaporkannya bahkan akan mendatangi ke orangtua korban, ancaman ini dilakukan secara berulang-ulang oleh Iwas dan korban hanya bisa diam, sedih dan merasa bersalah,” kata Rusdin.
Pada saat itu juga, korban ditawari agar melakukan ritual mandi wajib bersama Iwas agar ikatan jiwa korban oleh Iwas bisa terlepas dan ritual mandi wajib ini harus dilakukan di hotel.
“Berkali-berkali korban menolak, namun terus Iwas mengancam kalau korban tidak patuh maka hidupnya bakal hancur dan seluruh keburukan korban akan dibongkar ke orangtua,” terang Rusdin.
Sekitar pukul 11.50 Wita, korban akhirnya menuruti dengan membonceng Iwas menggunakan sepeda motor korban menuju ke arah hotel yang ditunjukkan terlapor.
Sampai di salah satu homestay, korban dipaksa turun dari sepeda motor dan disuruh cepat membayar biaya kamar sebesar 50 ribu rupiah ke lelaki berambut gondrong yang berada di homestay tersebut.
Korban dengan perasaan takut karena terlapor Agus selalu berulang mengeluarkan kalimat ancaman, menuruti perintah masuk ke kamar nomor 6 semua sampai pada peristiwa kekerasan seksual fisik berupa persetubuhan.
“Korban dipaksa membuka pakaian perlapor (Agus) dan rok korban sendiri, legging dan pakaian dalam korban dibuka paksa oleh perlapor menggunakan kaki kanannya sedangkan jilbab, baju dan bra tetap dipakai meski sempat dipaksa oleh Terlapor untuk korban 1 membukannya,” jelas Rusdin.
Selama persetubuhan terjadi, korban merasakan sakit sembari menangis terus berupaya melawan namun tetap tidak bisa karena terus terlapor memaksa dan mengancam.
Bahkan korban semakin merasa takut melihat beberapa kali nampak terlapor seperti sedang membaca mantra yang tidak dipahami korban.
“Sekitar 3 menit berlalu, korban mendorong tubuh terlapor dan berlari ke arah kamar mandi menangis dan berupaya menenangkan diri,” ucap Rusdin.
Tanggapan Orang Tua Agus
Sebelumnya, I Gusti Ayu Aripadni mengaku kaget anaknya I Wayan Agus Suartama alias Agus yang seorang disabilitas menjadi tersangka kasus rudapaksa mahasiswi.
"Kaget saya, bahkan saya shock pas ditetapkan tersangka," ujarnya kepada media Minggu (1/12/2024).
Ia mengaku pertama kali mendengar hal itu, dirinya sampai tak sadarkan diri.
"Sampai dibawa ke rumah sakit Bhayangkara, saya anggap diri saya udah nggak ada waktu itu," ujarnya.
Lebih lanjut, Ayu menceritakan bagaimana dirinya merawat Agus yang sejak kecil tidak memiliki kedua tangannya.
Ia pun tak menyangka anaknya bisa sampai sejauh ini menjalani prose hukum, padahal menurutnya, aktivitas Agus dalam keseharian masih perlu bantuan orang lain karena tak mempunyai kedua tangan.
"Saya kan sering temanin dia, karena kondisinya kan tidak bisa dia lakukan apa-apa sendiri, harus saya bantu. Seperti buang air kecil dan makan juga," bebernya.
Pendapat Psikolog
Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) NTB Lalu Yulhaidir mengatakan, penyandang disabilitas tidak menutup kemungkinan untuk melakukan kekerasan seksual terhadap seseorang.
Hal tersebut disebabkan berbagai hal misalnya, pelaku memiliki kontrol diri yang lemah, terlebih kata Haidir pelaku pernah menjadi korban perundungan pada saat usia anak-anak menjadi penyebab pelaku melakukan hal-hal nekat seperti pelecehan seksual.
"Kalau berbicara sikoseksual individu disabilitas dan non disabilitas sama, tidak ada perbedaan hanya saja yang membedakan disabilitas agak terhambat dalam puberitas, seks education," kata Haidir, Senin (2/12/2024).
Haidir mengatakan bahkan pelaku untuk menggaet para korbannya bisa melakukan manipulasi emosi, dimana pelaku menawarkan kepada korban tertentu-keahlian tertentu.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.