BeritaBima
Cerita Arifin, Anak Petani di Bima Jadi Wisudawan Terbaik dengan IPK 3,88
Cerita perjuangan Anas meraih sarjana hingga menjadi lulusan terbaik, sering gadai laptop dan handphone untuk bayar SPP
Penulis: Toni Hermawan | Editor: Idham Khalid
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Toni Hermawan
TRIBUNLOMBOK.COM, KOTA BIMA - Pantang menyerah, tekun, dan memiliki mimpi besar pantas disematkan kepada Anas Arifin (23), pria yang menjadi wisudawan terbaik Universitas Muhammadiyah Bima pada acara wisuda, 31 Agustus 2024 lalu.
Berasal dari keluarga petani, tidak membuatnya putus semangat, bahkan menjadi pemacu untuk berprestasi dan memberikan kado terindah untuk kedua orang tua di hari wisuda dengan nilai IPK 3,88.
Perjuangan Anas meraih sarjana tidaklah mudah, dalam perjalanannya, ia kerap diterpa lika-liku persoalan ekonomi, seperti terpaksa menggadaikan laptop untuk bayar SPP.
Bahkan Anas juga sering menggadai handphone, hingga menjadi buruh tani di Pulau Sumbawa untuk bertahan hidup dan membayar kuliahnya.
Anas saat awal-awal menjadi mahasiswa, dirinya harus menggadaikan handphone ataupun laptop miliknya untuk membayar SPP, lantaran orang tua terkadang telat memberikan uang.
"Iya sering gadai laptop atau hp buat bayar SPP," kata pria 23 tahun ini memulai ceritanya kepada TribunLombok.com, Senin (2/9/2024).
Kendati demikian, jalan terjal yang dilalui tidak membuatnya putus asa, bahkan saat libur perkuliahan semester II dirinya ikut bersama orang tua menjadi buruh tani di Pulau Sumbawa.
"Niat saya bantu-bantu, tapi dipulangkan orang tua, katanya kalau kuliah-kuliah aja," sambung ketua Umum Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Bima ini.
Ia mengaku beruntung per satu semester SPP Rp 1,7 dan dapat dicicil. Sehingga untuk mengurangi beban, dirinya menggadaikan handphone.
"Kalau gadai handphone udah sering kali, saya gak ingat udah berapa kali," kata putra dari pasangan Arfan dan Salmah ini sembari menghela nafas.'
Pria asal Desa Diha Kecamatan Belo, Bima ini juga harus memutar otak untuk menyewa tempat tinggal di Kota Bima selama menempuh pendidikan.
Beruntung, ia bersama mahasiswa lainnya mengontrak rumah untuk menghemat biaya.
"Kalau dulu sebelum jadi ketua sewa rumah ramai-ramai, kalau sekarang tinggal di sekreriat organisasi, itu juga jadi tempat tinggal," ujarnya.
Ketika meraih gelar sarjana, Anas juga mengaku masih memiliki tunggakan pembayaran kuliah sekitar Rp 4 juta lebih.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.