Harapan yang Pupus

Aku mencoba meyakinkan dan memberanikan diri untuk mulai mencintai dia dengan sepenuh hati

pixabay.com
ilustrasi pasangan kekasih. 

Dia menghilang tanpa kabar. Telepon tak pernah dijawab. Apalagi pesan singkat.

Akupun dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan yang Ada di benakku.

Hari demi hari aku selalu mengirim pesan kepadanya sambil bertanya-tanya kamu kenapa? Kamu kenapa? Aku salah apa? Aku salah apa?.

"Gak tahu," jawabnya singkat yang bagiku itu pertanda buruk.

"Aku mau hubungan Kita sampai di sini saja. Aku minta maaf atas semuanya sama kamu." Keputusannya itu mengagetkanku.

Aku hanya bisa menangis terisak-isak di pojokan lemari tanpa membalas sedikit pun ucapannya.

Hari demi hari berlalu. Aku bisa menjalani aktivitas kembali seperti biasa setelah bisa melupakannya meski tidak dengan kenangannya.

Aku mengingat kembali tingkahku yang seolah seperti mengemis cinta lagi darinya. Bagiku itu tidak penting asal dia bisa kembali di pelukku lagi.

"Apa hubungan kita tidak bisa di perbaiki, kita sudah lima tahun bersama, secepat itu kah kamu melupakan kenangan yang telah kita lalui bersama?", kataku kepadanya di satu waktu aku bisa menghubunginya.

Dia hanya menjawab tidak tahu.

"Ternyata sakit terlalu mengharapkan dan mencintai seseorang dengan sangat tulus," gumamku dalam hati.

Empat bulan kulalui seperti ini. Hingga akhirnya aku merasa sudah cukup hidup seperti ini.

Pilihanku satu-satunya adalah melepaskannya dengan ikhlas.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved