Pilpres 2024

Jusuf Kalla: Koalisi Gemuk Bukan Jaminan Bisa Menang di Pilpres 2024

JK masih ingat betul ketika dia dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak didukung banyak partai saat memenangkan Pilpres 2004.

Editor: Dion DB Putra
TRIBUNNEWS.COM
Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. JK mengatakan, koalisi besar bukan jaminan bisa menang di Pilpres tahun depan. 

TRIBUNLOMBOK.COM, JAKARTA - Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI, Jusuf Kalla (JK) menilai, tidak ada jaminan bagi Ketum Gerindra Prabowo Subianto menang dalam Pilpres 2024 hanya karena koalisi partai yang mendukungnya semakin gemuk atau bertambah.

JK masih ingat betul ketika dia dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak didukung banyak partai saat memenangkan Pilpres 2004.

Baca juga: Ganjar Pranowo Langsung Merapat ke Gusdurian, Yenny Wahid Bersedia Dampingi Keliling Jatim

"Tidak ada jaminan. Sama dengan saya waktu 2004, Anda masih ingat, (wartawan) masih SMP mungkin ya, itu kita hanya didukung 11 persen, 4 partai. Tapi menangnya 60 persen. Jadi beda itu. Tidak simetris sama sekali," ujar JK saat ditemui di Markas PMI Pusat, Jakarta, Senin 14 Agustus 2023.

JK menyampaikan, hal yang menjadi penentu kemenangan paslon di Pemilu yaitu rakyat, bukan partainya. Sebab, rakyat pasti memiliki pilihannya masing-masing terkait partai politik.

"Yang memilih kan rakyat. Partai yang mengusulkan, yang memilih rakyat. Terserah rakyat bagaimana, rakyat ada yang ikut partainya, ada juga yang tidak. Selama ini begitu," tutur dia.

JK mencontohkan ketika dia maju sebagai Capres pada tahun 2009. Saat itu, JK menggandeng Wiranto sebagai Cawapres.

Jika dihitung-hitung, kata mantan Ketum Golkar ini, jumlah suara yang bisa dia raih seharusnya mencapai 20 persen. Namun kenyataannya, suara mereka jauh di bawah itu. Pasangan JK-Wiranto kalah di Pilpres 2009.

"Pengalaman saya dengan Pak Wiranto dulu, kalau dihitung-hitung jumlah suara itu lebih 20 persen. Tapi hanya dapat suara 14 persen, tidak simetris, tergantung. Kalau sudah masuk ke Pemilu itu, orang tidak lagi melihat partainya, orang melihat tokohnya," ujar JK.

Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan saat  mendeklarasikan Prabowo sebagai capres 2024-2029 di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, Minggu (13/8/2023).
Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan saat mendeklarasikan Prabowo sebagai capres 2024-2029 di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, Minggu (13/8/2023). (TRIBUNNEWS)

Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah juga menyebut hal sama. Kata dia, pada Pilpres 2014, PDIP mengusung Joko Widodo dan JK bersama koalisi yang ramping.

Namun, koalisi ini mampu mengalahkan Prabowo yang kala itu berpasangan dengan Hatta Rajasa. Padahal, Prabowo-Hatta didukung oleh sejumlah partai besar, tak terkecuali Demokrat yang saat itu menjadi partai penguasa.

"2014 juga kami ramping, kami menghadapi Capres-Cawapres yang didukung oleh presiden yang sedang berkuasa waktu itu," kata Basarah di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (14/8/2023).

"Pak Hatta Rajasa kan besannya Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) pada waktu itu. Kami partai-partai yang dihitung oleh para pengamat politik bukan partai besar pada waktu itu, hanya dengan NasDem, PKB, dan Hanura," ujar dia.

Berkaca dari hal ini, Basarah tak menganggap serius persoalan besar kecilnya dukungan dari partai politik.

"Jadi bagi PDIP hal-hal yang biasa yang kita hadapi. Kita biasa bekerja bersama-sama, tapi kita juga biasa bekerja dengan teman yang tidak begitu banyak. Toh, akhirnya ketika kita menang pada waktu itu akhirnya teman-teman itu juga datang kepada kami untuk bekerja sama di pemerintahan," kata Wakil Ketua MPR ini.

Melihat ini, Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno menilai, banyaknya dukungan partai politik ke figur Capres-Cawapres bukan jaminan kemenangan.

Dia mengatakan, kemenangan pasangan Capres-Cawapres ditentukan oleh suara rakyat, bukan banyaknya dukungan partai politik.

“Tidak ada korelasi banyaknya dukungan partai ke Capres akan memenangkan pertarungan politik karena yang memilih presiden itu bukan anggota dewan atau anggota partai yang jumlahnya sangat terbatas,” kata Adi, Senin (14/8/2023).

Memang, kata Adi, semakin banyak dukungan partai, mental juang sebuah koalisi akan berlipat ganda. Namun, bukan berarti hal itu bisa dikapitalisasi menjadi dukungan suara.

Adi mengatakan, ketika Pilpres digelar bersamaan dengan Pileg, partai akan fokus pada Pileg, bukan Pilpres.

Partai yang menaruh fokus besar pada Pilpres kemungkinan hanya yang kadernya maju sebagai Capres atau Cawapres.

Sekalipun partai politik telah menyatakan dukungan ke Capres tertentu, partai tersebut tak akan banyak berupaya memenangkan Pilpres jika bukan kadernya sendiri yang jadi Capres atau Cawapres.

“Biasanya fokus pada Pilpres itu kalau kadernya atau punya jagoan internal maju. Sementara kalau tidak punya jagoan baik Capres ataupun Cawapres rata-rata kecenderungannya berkampanye untuk partai dan berkampanye untuk kepentingan Caleg saja,” ujar Adi. *

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved