Opini
Siapa yang Berhak Menerima 'Harta Karun' Kerajaan Lombok?
Wajar orang dibuat kaget, dari 472 artefak itu, setengahnya adalah benda yang berasal dari Lombok, artefak dari Lombok itu dikenal Lombok Treasure.
Oleh: Gegen, pegiat Lombok Heritage and Science Society (LHSS)
LOMBOKÂ yang dalam kancah sejarah nasional selalu terpinggirkan tiba-tiba saja menjadi pusat perhatian karena berita pengembalian artefak budaya dari Belanda ke Indonesia.
Wajar orang dibuat kaget, dari 472 artefak itu, setengahnya adalah benda yang berasal dari Lombok, artefak dari Lombok itu dikenal dengan sebutan "The Lombok Treasure".
Terus apa itu The Lombok Treasure?, siapa yang punya?, kenapa bisa dibawa Belanda?, siapa yang berhak menerimanya?
Jadi begini, harta karun Lombok itu sebetulnya adalah sebagian besar merupakan harta rampasan perang yang diambil Belanda pada saat menginvansi Lombok tahun 1894.
Kala itu, terjadi perang antara kerajaan Mataram dengan Belanda, berlangsung dari bulan Agustus sampai dengan November 1894.
Baca juga: Sejarah Penjarahan Harta Karun Kerajaan Lombok
Jika di bulan Agustus kerajaan Mataram mendapat kemenangan gemilang, maka bulan September sampai November, kerajaan Mataram Lombok mengalami kehancuran yang menyedihkan.
Pada bulan November inilah cerita harta karun Lombok itu bermula, itu adalah saat Belanda berhasil menaklukan Puri Ukir Kawi yang merupakan benteng terakhir kerajaan Mataram Lombok.
Pada tanggal 18 sampai dengan 19 November, penjarahan atas harta raja Mataram di Puri Ukir Kawi mulai dilakukan Belanda dan beberapa pasukan Sasak.
Disebutkan saat memasuki ruang penyimpanan harta raja yang berukuran 3 x 5 meter, pasukan Belanda dan Sasak dibuat kaget dengan banyaknya harta raja yang ada di ruangan itu.
Pada hari itu juga (versi Kraan), Belanda mengangkut 230 kg emas dan 3.810 kg perak dari Lombok ke Batavia.
Pada hari berikutnya, Belanda kembali mengangkut 3.389 kg perak dan 3 peti yang berisi perhiasan, keris dan benda pusaka lainya.
Menurut W Cool, pengangkutan terakhir harta kerajaan Mataram Lombok itu terjadi pada bulan Februari 1896.
Saat itu, 16 peti berisi perhiasan dan batu permata diangkut dari Lombok ke Batavia.
Barang-barang itu kemudian disimpan oleh Belanda pada Museum Batavia atau Royal Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, saat ini bernama Museum Nasional atau dikenal juga dengan sebutan Museum Gambir.
Barang-barang itu kemudian secara bertahap diangkut ke Belanda dan disimpan pada sedikitnya 3 museum.
Salah satunya adalah museum Rijksmuseum voor Volkenkunde atau lebih dikenal dengan Museum Nasional Etnologi Leiden.
Pengembalian Sejak Soekarno

Mengenai usaha pemerintah Indonesia mengembalikan benda-benda itu sebetulnya dimulai sejak jaman Presiden Soekarno.
Saat itu Muhamad Yamin dalam sebuah lawatan ke Belanda tahun 1954 meminta agar barang-barang itu dikembalikan.
Namun, pemerintah Belanda kala itu belum berkenan mengembalikan, wacana itu pun kemudian menguap begitu saja.
Pada Oktober 1962, wacana meminta pengembalian barang-barang itu menyeruak kembali, adalah momen Musyawarah Museum Seluruh Indonesia ke-1 di Yogyakarta yang menyuarakan itu.
Salah satu hasil musyawarah adalah mengusulkan kepada pemerintah Indonesia mengupayakan pengembalian harta dan benda kebudayaan Indonesia yang ada di luar negeri.
Barulah pada masa pemerintahan Soeharto upaya pengembalian itu sedikit menuai hasil.
Pada lawatanya ke Belanda di tahun 1970, presiden ke-2 Indonesia itu mendapat hadiah dari ratu Juliana berupa keropak Negarakertagama.
Namun, itu hanya penyerahan secara simbolis saja, karena faktanya pada tahun 1972 lah, kitab Negarakertagama yang ditemukan di Lombok itu benar-benar balik ke Indonesia.
Selanjutnya, pada tahun 1978, Indonesia dan Belanda melakukan perundingan mengenai upaya pengembalian barang-barang budaya milik Indonesia.
Pada perundingan itu disepakati bahwa Belanda bersedia mengembalikan beberapa benda dan artefak milik Indonesia, salah satunya adalah regalia atau mahkota raja Mataram Lombok.
Benda-benda itu kemudian disimpan di museum Nasional Jakarta.
Dari pengembalian tahun 1978 itu, benda-benda atau artefak asal Lombok masih sangat banyak di Belanda, sedikitnya ada sekitar 222 obyek masih di simpan di Volkenkunde Museum Leiden.
Pada proyek pengembalian di tahun 2023 ini yang pada beberapa berita disebutkan sebanyak 472 objek, setengahnya adalah benda yang berasal dari Lombok, dan bisa jadi itu termasuk 222 obyek "harta karun" Lombok.
Kenapa barang-barang itu dikembalikan ke pemerintah Indonesia?, tidak ke ahli waris kerajaan Mataram Lombok?.
Jawabanya adalah karena Belanda hanya mengakui pemerintah Indonesia sebagai ahli waris sah kerajaan Mataram Lombok.

Sebagai gambaran, pada tahun 1914, salah satu pewaris sah kerajaan Mataram Lombok yang bernama Gusti Gde Oka pernah meminta dua bilah keris miliknya sendiri kepada pemerintah Hindia Belanda.
Dua keris itu "dititip" kepada Mr Liefrinck saat ia bersama kakeknya yang merupakan raja Mataram menaiki kapal yang membawanya ke Batavia.
Namun sampai tiba di Batavia, dua bilah keris itu tidak pernah dikembalikan, barulah saat ia mengunjungi museum Gambir, Gde Oka melihat dua kerisnya itu dipajang sebagai benda milik museum.
Gusti Gde Oka sendiri adalah anak dari putra mahkota kerajaan Mataram Lombok Ketut Karangasem dari istri perami.
Ia bersama raja Mataram Lombok pada tahun 1894 diasingkan Belanda ke Batavia.
Dalam upayanya memperoleh kerisnya itu, ia sampai membuat petisi pada pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1928, yang isinya, jika Belanda tidak bisa mengembalikan dua keris miliknya, setidaknya satu saja yang harus dikembalikan pada dirinya.
Petisinya itu kemudian mendapat jawaban pada tahun 1930, Belanda menolak mengembalikan keris itu padanya dengan alasan ia tidak bisa menunjukan bukti otentik kepemilikan keris.
Yang pewaris sah saja ditolak oleh Belanda apalagi yang mengaku-ngaku.
Meskipun demikian, alangkah bijaknya jika pemerintah Indonesia bisa menaruh sebagian harta karun Lombok itu pada museum Negeri NTB, biar orang Lombok tidak jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk melihat harta karun itu.
Sebetulnya, ada benda yang lebih penting dari harta karun Lombok itu, yaitu keberadaan 3.375 naskah sastra milik Lombok yang masih disimpan di Belanda.
Naskah-naskah itu bersamaan diangkut dengan harta karun Lombok pada kurun waktu 1894 sampai dengan 1896.
Seandainya naskah-naskah itu bisa dibalikin dan bisa kita pelajari, mungkin sejarah Lombok ini tidak akan gelap-gelap amat.
Jadi bagaimana heb? Ada yang masih mau "nuntut" bagian dari harta karun itu? Sang mauk mane-mane batek dongol.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.