Berita Bima

Penahanan 15 Pendemo Donggo-Soromandi, Akademisi UM Bima Dorong Polisi Utamakan Restorative Justice 

Penetapan tersangka dan penahanan 15 pendemo Donggo-Soromandi, memantik perhatian akademisi Universitas Muhammadiyah (UM) Bima. 

Penulis: Atina | Editor: Robbyan Abel Ramdhon
DOK ISTIMEWA
Syamsuddin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bima. 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Atina

TRIBUNLOMBOK.COM, KOTA BIMA - Penetapan tersangka dan penahanan 15 pendemo Donggo-Soromandi, memantik perhatian akademisi Universitas Muhammadiyah (UM) Bima

Aksi demonstrasi warga dan mahasiswa yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) Donggo-Soromandi tersebut, harusnya tidak berujung pada penahanan. 

Apalagi tuntutannya, meminta perbaikan jalan yang puluhan tahun sudah rusak. 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bima, Syamsuddin meminta Kepolisian lebih mengutamakan pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan masalah ini. 

Baca juga: Fenomena Retakan Tanah di Bima sampai ke Desa Kaowa Lambitu

Menurutnya, pendekatan hukum formal negara dalam menyelesaikan kasus serupa, cenderung menimbulkan gejolak sosial di kalangan masyarakat. 

Menurutnya, penggunaan restorative justice dianggap lebih tepat karena mengandung kebaikan dan kebermanfaatan. 

Apalagi, hakikat restorative justice berorientasi pada pemulihan keadaan bukan pembalasan semata.

“Jika dilihat dari motif dan tujuannya, tidak ada yang jahat dalam tindakan mereka, justru diapresiasi sebagai wujud kepedulian kepada masyarakat dan lingkungannya meskipun barangkali cara yang tempuh dapat dipersalahkan dari segi hukum,” beber Syamsuddin. 

Baca juga: Retakan Tanah di Sanolo Kabupaten Bima Diduga Akibat Patahan Lempeng Bumi

Kepolisian diharapkan dapat bersikap dan bertindak lebih bijaksana, dalam mengatasi tuntutan masa aksi.

Gunanya, untuk menghindari gejolak kelompok masyarakat atau menghindari benturan dengan kelompok masyarakat setempat.

Apalagi di lapangan lanjut Syamsuddin, kadang aparat kepolisian tanpa disengaja kerapkali dijadikan alat atas nama hukum, dihadap-hadapkan dengan kelompok masyarakat massa aksi.

Karena itu tegasnya, kepolisian menjadikan hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (balancing) dan harmonisasi antara kepentingan negara dengan masyarakat. 

Bukan alat penertib (ordering) semata dengan mengandalkan tindakan represifitas. 

“Harus digunakan pendekatan dialogis dengan mempertemukan kepala daerah dengan masyarakat peserta aksi guna mencari win-win solution," tambahnya. 

Kepala daerah pun katanya, harus cepat tanggap dan responsive terhadap aspirasi masyarakat, bukan justru menghindarinya. 

Lebih lanjut Syamsuddin menjelaskan, masalah tuntutan perbaikan jalan sudah sering disuarakan masyarakat masyarakat Bima. 

Bahkan aksi demonstrasi serupa kerapkali dilakukan di berbagai kecamatan di Bima.

Menurutnya aksi-aksi ini menjadi alarm bagi Pemerintah Provinsi NTB dan Pemerintah Kabupaten Bima. 

Sebab menurutnya, terdapat ketentuan pidana bagi penyelenggara jalan yang abai terhadap kerusakan jalan sesuai wewenangnya, sebagaimana diatur dalam pasal 273 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 22 tahun 2009. 

Menyebutkan, setiap penyelenggara jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan dipidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda maksimal Rp12 juta. 

"Jika mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana kurungan maksimal 1 tahun atau denda paling banyak Rp24 juta, dan jika hal itu mengakibatkan orang lain meninggal dunia pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau paling banyak Rp120 juta," tutupnya.

 

Bergabung dengan Grup Telegram TribunLombok.com untuk update informasi terkini: https://t.me/tribunlombok.

 

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved