Kerusakan Hutan Kian Parah, Walhi NTB Tolak Proyek Kereta Gantung Rinjani hingga Pertambangan

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB terang-terangan menyatakan penolakan terhadap investasi yang merusak lingkungan.

Penulis: Jimmy Sucipto | Editor: Sirtupillaili
PEXELS.COM/QUANG NGUYEN VINH
Ilustrasi kereta gantung rinjani. 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Jimmy Sucipto

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – Berbagai investasi bidang pariwisata hingga tambang masuk ke Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam beberapa tahun terakhir.

Di antaranya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Kereta Gantung Gunung Rinjani, Hub Internasional Lombok Utara, serta tambang seperti PT Aman Mineral Nusa Tenggara.

Terhadap proyek-proyek ini Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB terang-terangan menyatakan penolakan karena dampak lingkungan yang ditumbulkan.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi NTB Amri Nuryadin mengatakan, investasi-investasi tersebut menyumbang kerusakan alam terhadap hutan-hutan di NTB.

Hal tersebut ditegaskan Walhi NTB dalam keterangan pers, di Batu Layar, Senggigi, Jumat (3/2/2023).

Baca juga: Walhi NTB Dorong KPK Evaluasi Izin Pertambangan di NTB

Walhi NTB menilai proyeksi pembangunan dan investasi di NTB berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan hidup.

Baik di kawasan hutan, pesisir, pulau-pulau kecil, maupun lahan-lahan pertanian produktif.

Sehingga menyebabkan laju kerusakan hutan dan lahan kritis sangat tinggi di NTB.

Berdasarkan data hasil investigasi Walhi NTB, tercatat laju kerusakan hutan mencapai 50 persen dari luas kawasan hutan di NTB.

Atau sekitar 550.000 hektare dari 1,1 juta hektare kawasan hutan di NTB.

Menurut Amri, ancaman perusakan lingkungan di kawasan hutan disebabkan operasi tambang, alih fungsi lahan skala besar, baik di wilayah hutan maupun pesisir.

Sejumlah pertambangan besar yang menguasai lahan wilayah hutan dan pesisir antara lain PT Aman Mineral Nusa Tenggara (dahulu PT NNT) dengan luas 125.341,42 hektare di Kabupaten Sumbawa Barat.

Kemudian industri tambang yang sedang memulai eksplorasinya yaitu PT STM.

PT STM memegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Hu’u Dompu dengan luas 19.260 hektare yang merupakan wilayah kawasan hutan di Hu’u Dompu.

Begitu pula dengan proyek Smelter di Kabupaten Sumbawa Barat yang digadang akan dibangun dua perusahaan besar, yaitu PT China Nonferrous Meta Industry Foreign Engineering Construction Co Ltd (NFI), dan PT PIL Indonesia.

Selain pertambangan berizin, di NTB juga tercatat bahwa maraknya illegal mining atau tambang illegal (pertambangan tanpa izin).

Diantaranya di Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Sumbawa Barat, dan Kabupaten Sumbawa.

Pertambangan ilegal menjadi penyebab kerusakan hutan dan ekologi yang juga menjadi penyebab bencana banjir di banyak wilayah di NTB.

Selain tambang, terdapat juga investasi berbentuk pariwasata yang disinggung Walhi NTB.

Salah satu investasi yang kini tengah didorong Pemprov NTB adalah pembangunan kereta gantung di kawasan hutan Rinjani.

Dengan luas area 500 hektare beserta pembangunan infrastruktur dan rencana pembangunan resort.

Dengan nilai investasi sebesar Rp 2,2 triliun, Walhi NTB dengan tegas melakukan penolakan.

Belum lagi terkait proyek KEK Mandalika. Walhi NTB menyoroti kasus banjir di depan Sirkuit Mandalika pada beberapa waktu lalu.

"Banjir itu (Sirkuit Mandalika) akibat eksploitasi alam," ujar Amri.

Amri menilai, pembukaan jalan dengan mengorbankan sejumlah hutan hingga bukit di Mandalika menjadi penyebab banjir di depan Sirkuit Mandalika.

Demikian pula dengan kerusakan ekologi pesisir pantai di Nusa Tenggara Barat.

Dijelaskan Amri, alih fungsi lahan untuk investasi tambak udang, budi daya mutiara skala besar KEK Mandalika menjadi penyumbang kerusakan alam.

"Beberapa nelayan maupun pengusaha kecil harus rela kehilangan mata pencahariannya," ungkap Amri.

Sementara itu, terdapat peraturan PERPU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Walhi NTB menilai UU Cipta Kerja memberikan keleluasaan bagi invetasi.

Tanpa harus memperhatikan keadilan ekologis dan perlindungan terhadap sumber-sumber penghidupan rakyat baik di kawasan hutan maupun di pesisir.

Walhi NTB menjelaskan beberapa solusi yang bisa ditempuh pihak terkait, khususnya pemerintah di Nusa Tenggara Barat, antara lain:

Pemerintah NTB harus melakukan moratorium dan evaluasi terhadap perizinan investasi pertambangan dan pariwisata di kawasan hutan, pesisir dan pulau kecil di NTB.

Pemerintah NTB bersama perusahaan-perusahaan harus melakukan pemulihan kawasan hutan, pesisir dan pulau-pulau kecil dari kerusakan ekologi yang diakibatkan pertambangan dan pariwisata di NTB.

"Negara harus memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah kelola rakyat dan sumber-sumber penghidupan rakyat di NTB," katanya.

Pemerintah NTB harus segera melakukan pemulihan sungai-sungai di NTB yang tercemar mikroplastik.

Pemerintah harus memberikan perlindungan terhadap warga, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang terdampak pembangunan dan investasi pertambangan dan pariwisata.

Pemerintah harus menindak tegas pelaku perusak lingkungan hidup di NTB berdasarkan undang-undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Walhi NTB akan memonitor, mengontrol dan mengevaluasi semua proyek pembangunan, pertambangan, pariwisata, penyelamatan hutan, pesisir dan pulau-pulau kecil di NTB secara berkala.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved