AJI Mataram Kecam Pemanggilan Jurnalis dan Desakan Hapus Berita oleh Oknum Polisi di NTB

AJI Mataram menilai, dua tindakan itu sangat bertentangan dengan tugas pokok jurnalis yang dilindungi Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Editor: Dion DB Putra
FOTO AJI MATARAM
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, Muhammad Kasim. 

Ia menegaskan, siapapun tidak boleh menghalang-halangi tugas jurnalis, karena pers nasional memiliki hak mencari,menulis,dan menyebarluaskan informasi ke publik.

Perbuatan meminta menghapus berita adalah termasuk menghalang-halangi kerja jurnalistik yang dilindungi Undang Undang. Setiap perbuatan semacam itu, dapat dipidana sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) UU Pers.

Isinya, menyatakan, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.

“Kerja jurnalis itu dilindungi undang-undang dan orang yang menghalangi bahkan mengintimidasi ancamanya pidana,” kata Cem, sapaan Muhammad Kasim mengingatkan.

Sekretaris AJI Mataram, Wahyu Widiantoro menambahkan, seharusnya jika ada pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan tersebut, dapat menempuh mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dalam Pasal 5 ayat 2 dan 3 mewajibkan pers melayani hak jawab dan hak koreksi. Selain itu, mekanisme hak jawab juga diatur dalam pasal 11 kode etik jurnalistik.

Bukan berarti masyarakat yang merasa keberatan atas pemberitaan kemudian meminta menurunkan berita yang ditayangkan.

“Mekanisme hak jawab dan hak koreksi sudah diatur dalam Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Mekanisme ini harus dipahami oleh semua masyarakat maupun aparat penegak hukum. Jadi tidak seenaknya orang meminta men-take down berita yang sudah dimuat oleh media,” sesalnya.

Ia juga mengingatkan, jurnalis berhak memberikan hak tolak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Pers untuk melindungi narasumber. Tindakan itu bukan berarti jurnalis tidak kooperatif terhadap pemanggilan oleh aparat penegak hukum.

Desak Kapolda NTB Usut

Sementara itu Ketua Divisi Advokasi AJI Mataram Idham Khalid menambahkan, sepatutnya aparat kepolisian di NTB juga menghargai Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang telah ditandatangani Dewan Pers dengan Polri. Isinya, tentang perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum terkait penyalahgunaan profesi wartawan.

PKS pertama ini sebagai turunan dari Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) Dewan Pers - Polri untuk meminimalisir kriminalisasi karya jurnalistik, sebagaimana tertuang dalam surat Nomor : 03/DP/MoU/III/2022 dan Nomor: NK/4/III/2022.

Karena itu, AJI Mataram mendesak Kapolda NTB, Irjen Pol. Djoko Poerwanto mengusut tuntas dugaan praktik pungli dijajaran Korps Bhayangkara khususnya di Unit Laka Lantas Polresta Mataram. Selain itu, Polisi di NTB menghargai kerja-kerja jurnalis dalam memperoleh dan menyebarkan informasi ke publik.

“Ini menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di NTB. Apalagi pelaku intimitasi dilakukan oleh aparat penegak hukum,” demikian kata Idham.

Kabid Propam Polda NTB Kombes Pol. Awan Hariono yang ditemui Jumat 25 November 2022 mengaku menghargai mekanisme dalam UU Pers bahwa wartawan memiliki hak tolak memberikan keterangan apalagi yang berkaitan dengan identitas narasumber yang wajib dirahasiakan. Pihaknya tidak akan melanjutkan pemanggilan terhadap wartawan atas kasus tersebut. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved