Implementasi Integrasi Keilmuan di UIN Mataram Lewat Momentum Pengukuhan Guru Besar

Horizon Ilmu sebagai suatu mazhab keilmuan UIN Mataram dapat dilihat dari epistemologis keilmuan

ISTIMEWA
Rektor UIN Mataram Prof. Dr. H Masnun Tahir, M.Ag. 

Oleh: Prof. Dr. H Masnun Tahir, M.Ag

Hari Rabu tanggal 16 November 2022 menjadi hari bersejarah dan spesial, tidak saja bagi dua Professor yang dikukuhkan, tetapi bagi juga keberadaan UIN Mataram sebagai institusi yang menggagas adanya usaha integrasi keilmuan dalam bingkai horizon ilmu.

Konsep keilmuan UIN Mataram dikenal dengan istilah “Horizon Ilmu” yang memiliki turunan integrasi, interkoneksi, dan internalisasi. Berangkat dari filosofi horizon ilmu ini berupaya untuk mengembangkan dan mengkombinasikan antarilmu umum dengan ilmu keislaman.

Tujuan ini tentu untuk menjawab problem keilmuan di lingkungan PTKIN yang selama ini terjadi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu keislaman. Pemisahan ini sudah lama terjadi sehingga memunculkan problem epistemologis bagaimana mendamaikan dua kutub keilmuan yang terpisah. Dalam upaya untuk mendamaikan dua kutub keilmuan itu tentu memerlukan epistemologis serta metodologis yang jelas sehingga menemukan titik temu.

Horizon ilmu sebagai jawaban atas problem perpecahan ilmu umum dan keislaman di lingkungan PTKIN ini juga tidak mudah untuk diuraikan, karena harus menjawab beberapa problem epistemologis keilmuan. Maka dari itu, untuk melihat muara dari Horizon Ilmu UIN Mataram ini perlu melihat beberapa problem epistemologis keilmuan agar jelas standing position dari Horizon Ilmu sebagai suatu mazhab keilmuan UIN Mataram. Berkaitan dengan dikotomi bangunan keilmuan yang terjadi maka perlu proses integralistik dan saling melengkapi karena suatu kewajaran dengan kurun waktu yang sangat lama telah terjadi dikotomi keilmuan. Maka dari pada itu, perlunya pandangan baru untuk menghubungkannya.

Amin Abdullah melihat tiga problem yang berkaitan dengan Religious knowledge, Islamic thought, dan Islamic Studies seolah-olah ada keterputusan missing link di antara ketiganya yang seolah-olah tidak bertemu, tidak saling berdialog, mengenal, mengambil manfaat masukan di antara kluster keilmuan. Ketiganya masih berdiri sendiri secara ekslusif. Masing-masing merasa cukup dengan dirinya sendiri, dan tidak memerlukan bantuan dari yang lain.

Baca juga: Menko PMK Dorong UIN Mataram Jadi Pelopor SDM Indonesia Emas 2045

Lebih jauh Amin Abdullah mengatakan seharusnya ketiganya harus terjalin integrasi-interkoneksi yang dialogis dan negosiatif. Masing-masing kluster tidak hanya secara pasif mengambil manfaat dari kluster yang lain, tetapi juga secara aktif, cair, dapat memberi masukan, kritikan, kepada kluster yang lain. Dengan cara ini pengembangan ilmu umum dan keilmuan Islam dapat berdampak bagi keilmuan global (M.Amin Abdullah, 2008).
Dua Professor yang dikukuhkan dapat dijadikan rujukan sebagai realisasi integrasi keilmuan itu. Bagaimana tidak dua Professor yaitu Dr. Abdul Wahid dan Professor Atun Wardatun PhD telah dengan indah mempraktikkan kedua bidang ilmunya saling bekerjasama dan berkolaborasi menggambarkan, menerangkan dan menjelaskan keberadaan masyarakat Bima khususnya dan Indonesia umumnya.

Prof. Abdul Wahid adalah pakar antropologi agama dan Prof. Atun Wardatun adalah pakar hukum keluarga Islam, dua basis keilmuan yang sangat urgen dalam ilmu sosial. Integrasi paradigma antropologi dan hukum sangat dibutuhkan, khususnya di Indonesia yang multikultural. Keragaman budaya dan cara pandang di masyarakat seringkali dapat menimbulkan konflik, baik konflik nilai, konflik norma dan atau konflik kepentingan antar komunitas etnis, agama, golongan dalam masyarakat. Selain itu, konflik yang terjadi juga dapat disebabkan sebagai akibat dari diskriminasi peraturan dan perlakuan sebuah komunitas terhadap komunitas lain di daerah tertentu dengan mengabaikan, menghapuskan dan melemahkan nilai-nilai dan norma hukum adat termasuk norma agama dan tradisi-tradisi masyarakat di daerah tersebut melalui dominasi dan pemberlakuan hukum sepihak yang otoriter dan hegemonik. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi-formulasi baru dari integrasi berbagai keilmuan sosial, bahkan sains untuk menghadirkan paradigma baru yang dapat memberikan tawaran baru istrumen pengawasan sosial (social control) dan perspektif hukum dan instrumen kehidupan sosial (social engineering) dari perspektif antropologi. Heterarki masyarakat muslim Bima dan Indonesia dari quasi hegemoni ke kolektif agensi merupakan salah satu reformulasi pemikiran yang ditawarkan dari pasangan guru besar (Prof Wahid dan Prof Atun). Tentu pemikiran hari ini oleh pasangan guru besar ini bukanlah akhir dari berbagai kajian, namun merupakan awal dari langkah besar pemikiran-pemikiran progresif yang akan terus diproduksi oleh internal UIN Mataram.

Prof. Abdul Wahid dengan kepakarannya di bidang antropologi agama telah berusaha menghadirkan wujud masyarakat Bima ditilik dari pergulatan sosial budaya dan agamanya lalu disambut oleh Prof. Atun Wardatun dengan kacamata ilmu hukum perdata (keluarga) yang membuat gambaran Masyarakat Bima dalam pergumulannya pada ruang hirarki-heterarki menjadi lebih utuh, padat dan memperlihatkan kebaruan yang menggairahkan untuk diselami.

Perspektif hirarki-heterarki menjadi perbincangan yang menarik dalam rangka pemahaman masyarakat Bima bahkan Indonesia yang lebih besar. Pada perspektif hirarki-heterarki kiranya dapat disaksikan bagi masyarakat Bima bahkan bisa digeser pada konteks masyarakat etnik lainnya yang mengambil bentuk atau model antara hendak melanggengkan sistem tradisional (kerajaan) dengan sistem modernitas yang tidak bisa dielakkan. Dialektika itulah yang telah coba dinarasikan oleh kedua guru besar.

Keduanya yang memang sepasang suami-istri telah memberikan suluh terang bagi mengenali, dan memberikan jalan keluar bagi meghargai kehidupan kemasyarakatan pada konteks jalinan hirarki di satu sisi dan heterarki di sisi lain. Kedua model pendekatan yang dipakai merupakan upaya genuine nan menggugah masyarakat dalam rangka membaca ulang keberadaan masyarakat Bima dan Indonesia pada konteks model dimaksud.

Pun dengan dialektika keluarga sebagai unit terkecil masyarakat, disembulkan dengan tegas nan lugas lewat ilmu pengetahuan hukum keluarga. Di sana ada berbagai dinamika tidak saja laki-laki tetapi juga komunitas perempuan hadir di ruang publik sebagai agensi dari tarik- menarik antara perspektif hirarki-heterarki. Dengan demikian perbincangan mengenai masyarakat Bima dan duplikasi nya dengan masyarakat lainnya di Indonesia menjadi ramai pula dengan konsep gender yang membuatnya semakin hidup dan segar

Kemenangan Bagi semua

Upaya ikhtiar dua guru besar antropologi agama dan hukum keluarga Islam dalam menginterpretasikan kedua bidang ilmu pengetahuan (takaful ulum waz diwajul maarif) tidak saja untuk memberikan solusi bagi kompleksitas persoalan masyarakat dalam kaitannya dengan relasi antar sesama, tetapi juga agar penggunaan integrasi ilmu pengetahuan (perspektif) memberi jalan kemenangan untuk semua. Bagaimana pun persepektif heterarki walaupun tidak lebih Egaliter dengan hirarki, namun telah memberikan pola baru bagi relasi saling memberi jalan untuk share of bargaining position antar semua. Dalam persepektif heterarki semua pihak dapat mengetengahkan vitalitas diri mereka dalam struktur sosial yang dinamis. Heterarki memberikan jalan agar semua elemen masyarakat keluar bersuara untuk membuat sejarah bagi dirinya dan orang lain. Antara laki-laki dan perempuan mempunyai potensi yang sama untuk mengukir prestasi, melahirkan legacy dan memoles dunia.

Baca juga: Lembaga Halal Center UIN Mataram Adakan TOT: Akan Ada 100.000 Pendamping Produk Halal (PPH)

Berbeda dengan fase-fase sebelumnya di mana yang "berhak" membuat sejarah adalah masyarakat dengan pereferensi kuasa, lebih superior, lebih berekonomi dan seterusnya. Dengan perspektif baru ini (heterarki) semua diberikan jalan untuk berada pada aras setara untuk membuat jaring-jaring kesalingan (mubadalah) agar bisa bermitra dengan pihak manapun.

Halaman
12
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved