Berita Politik NTB

Elite NWDI di Partai NasDem Diprediksi Akan Lompat ke Partai Perindo

TGB H M Zainul Majdi ke Partai Perindo disinyalir akan mengubah peta politik khususnya di Nusa Tenggara Barat.

Penulis: Lalu Helmi | Editor: Robbyan Abel Ramdhon
TRIBUNLOMBOK.COM/REZA EKA ADI
Kolase foto logo Partai NasDem (kiri) NWDI (tengah) Perindo (kiri). 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Lalu Helmi

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Bergabungnya Tuan Guru Bajang (TGB) H M Zainul Majdi ke Partai Perindo disinyalir akan mengubah peta politik khususnya di Nusa Tenggara Barat (NTB).

TGB dalam konteks posisinya sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (PB NWDI) diyakini akan turut juga membawa gerbong NWDI untuk pemenangan Partai Perindo di NTB.

Skema ideal ini mesti dilakukan lantaran beban yang diemban TGB dalam menjaga reputasinya sebagai Ketua Harian DPP Partai Perindo.

Mengingat target Perindo yang cukup besar yakni meraih 60 kursi parlemen pada pemilihan legislatif 2024 mendatang.

Baca juga: TGB Zainul Majdi: Hati-hati Menjadi Juru Bicara Islam

Pengamat politik Doktor Ihsan Hamid menangkap gejala tersebut.

Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram itu melihat kecenderungan bahwa elite NWDI seperti Hj Sitti Rohmi Djalilah dan Syamsul Lutfi yang saat ini berada di Partai NasDem akan berlabuh ke Partai Perindo.

"Yang kita perlu baca adalah target TGB yang cukup besar yakni mendongkrak suara Perindo memperoleh 60 kursi parlemen. Maka TGB berpikir, di NTB sebagai asal beliau pernah menjadi kepala daerah yang notabene merupakan basisnya, itu juga harus mensuplai target tersebut," katanya kepada TribunLombok, pada Rabu (7/9/2022).

Secara khusus, kata Ihsan, TGB akan disorot ketika di NTB sendiri dirinya tidak mampu mensupport targetan Partai Perindo tersebut.

Baca juga: Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid Maju Jadi Caleg DPR RI Lewat Partai NasDem

Posisi ini menurutnya dilematis. Baik bagi TGB dan kader NWDI yang saat ini berada di NasDem.

"Ketika bicara soal sumbangsih kursi, ini memang dilematis. Pasalnya, sebelumnya afiliasi ormas NWDI yang ditangkap publik mengarah kepada Partai NasDem. Harus ada skema yang mesti diatur sedemikian rupa," kata Doktor Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Ihsan melihat setidaknya ada tiga pola yang mungkin saja terjadi, terutama dalam artian TGB merealisasikan target Perindo tersebut.

Pertama, opsi yang paling rasional yakni menarik gerbong NWDI yang di NasDem untuk bergabung ke Perindo.

Baca juga: TGB Target Perindo NTB Jadi Partai Terkemuka: Semua Dapil Harus Terisi, Termasuk DPR RI

Jika hal tersebut terjadi, maka akan mudah bagi TGB untuk mensupplai elite NWDI untuk menjadi caleg Partai Perindo.

"Misal seperti Syamsul Lutfi, kalau seperti itu saya haqqul yakin kursi DPR RI bisa digenggam Perindo. Artinya apa, janji TGB untuk memaksimalkan pengaruhnya di NTB bisa direalisasikan dan dijawab," ujarnya.

Namun, jika hal tersebut tidak terjadi, maka ini tentu tidak akan menjadi sesuatu yang mudah bagi TGB.

Ihsan melihat mesti ada kerja ekstra. Baik dari segi belanja politik, atau ada strategi secara khusus yang diterapkan di NTB.

Opsi kedua, TGB tetap di Perindo dan elite NWDI yang saat ini berada di NasDem tidak pindah gerbong.

Pengaturannya adalah pada figur di pileg.

"Kalau kita beranggapan bahwa opsi pertama, elite NWDI yang ada di NasDem tidak dapat ditarik, lalu TGB atau Perindo terpaksa harus memasang orang lain (yang tidak berafiliasi dengan NWDI) di pileg, itu juga tidak menjanjikan," ujarnya.

Alasannya, pada satu sisi tokoh tersebut tidak bisa mengkapitalisasi TGB. Sebab NWDI tidak bisa digarap ceruknya jika bukan bagian dari jam'iyah.

Figur itu nantinya akan dilihat sebagai kader Perindo, sebab secara kultural berbeda dengan NWDI. Fungsionarisnya tidak bisa dilabeli NWDI, tidak berkorelasi.

Sekali lagi, Ihsan menekankan, jika opsi kedua ini yang diambil, maka akan berkonsekuensi pada cost/belanja politik/support akomodasi logistik yang besar kepada caleg yang non-NWDI itu.

Namun Ihsan juga menyampaikan, kalau opsi kedua diambil, pertanyaannya adalah apakah figur NWDI yang akan maju di DPR RI melalui NasDem, bisa percaya diri tanpa adanya sokongan TGB di belakang?

Mengingat persaingan di komposisi Bacaleg DPR RI di NasDem juga tentu tidak mudah.

Akan ada nama-nama beken seperti Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid.

Hal ini yang dinilainya mesti diatur.

"Narasi yang disampaikan di bawah itu seharusnya sudah clear. Sehingga tidak tumpang tindih. Tidak saling klaim dan sebagainya," tandasnya.

Opsi ketiga, TGB tetap di Perindo dan elite NWDI yang saat ini berada di NasDem tidak pindah gerbong.

Namun, dalam pencalegan, TGB tetap menggaet kader NWDI di Pileg DPR RI yang tidak berafiliasi dengan NasDem.

Semisal Mahally Fikri, Najmul Ahkyar, atau Hasanain Juwaini yang dianggap masih dapat dikorelasikan dengan TGB Sedangkan di NasDem tetap maju Syamsul Lutfi.

Pola ini dicermati Ihsan merupakan pilihan yang justru lebih dilematis.

"Memasang kader yang sama, warna yang sama, untuk mengambil suara di ceruk yang sama itu tidak bijak. Sederhananya, NWDI punya 100 suara kemudian akan dibagi rata menjadi 50-50, padahal syarat untuk menang adalah 90," katanya.

Dalam kacamatanya, NWDI memiliki sekitar 15-20 persen basis suara di NTB.

Oleh karenanya, Ihsan menilai opsi pertamalah yang paling ideal dan rasional.

"Opsi pertamalah yang paling masuk akal ketika TGB ingin merealisasikan targetnya yang berangkat dari NTB sebagai basis militannya, lalu ingin membuktikan bahwa NTB mampu menyumbang target Perindo lolos di pusat. Opsi kedua dan ketiga terlalu berisiko. Harus ditunjang dengan support finansial yang kuat," pungkasnya.

Lebih jauh, Ihsan menambahkan, berkaca dari sejarah konstelasi politik yang pernah terjadi, NWDI secara ormas tidak pernah berafiliasi kepada lebih dari satu partai.

Namun ia melihat, kalaupun gerbong NWDI yang saat ini berada di NasDem tidak bisa digaet ke Perindo, maka hal ini bisa menjadi tradisi baru bagi ormas NWDI.

"Kalau ini terjadi ke depan, maka akan sedikit mendewasakan jamaah NWDI. Tetapi imbas pertama kali ini yang memang harus diterima pahit-manisnya. Sebab kader belum terbiasa diajak berafiliasi kepada dua kelompok dalam waktu yang bersamaan," kata Ihsan Hamid.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved