Kejati NTB Beberkan Inisial 2 Calon Tersangka Korupsi KUR Lombok Tengah dan Lombok Timur
Setelah melakukan serangkaian proses penyelidikan, Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB mengantongi dua nama calon tersangka kasus dugaan korupsi dana KUR.
Penulis: Jimmy Sucipto | Editor: Sirtupillaili
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Jimmy Sucipto.
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Kejaksaan Tinggi NTB memberikan sinyal terkait dua calon tersangka penyelewengan dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) Petani di Lombok Tengah dan Lombok Timur.
“Terkait penyidikan yang telah kami jalankan beberapa waktu lalu, kami telah mendapatkan dua inisial calon tersangka,” ucap Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat Sungarpin, dalam keterangan persnya, Jumat (22/7/2022).
Sungarpin melanjutkan, dua calon tersangka itu berinisial AM dan IR.
Namun, belum diketahui dengan jelas hubungan dan peran dari kedua calon tersangka ini.
Sungarpin enggan menjawab hal tersebut, karena masih proses penyelidikan.
Selain itu, terdapat proses pengungkapan kerugian negara dalam kasus KUR ini.
“Masyarakat masih berurusan kepada ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB,” ucap Sungarpin.
Baca juga: Buron Kasus Korupsi Haornas 2018 di Ternate Tertangkap di Bekasi
Meskipun belum ada hasil, Sungarpin memberikan gambaran bahwa potensi kerugian negara yang muncul berdasarkan perhitungan mandiri pihak kejaksaan.
“Saya berikan gambaran saja, kira-kira sekitar Rp 29,95 miliar,” jelas Sungarpin.
Sungarpin menjelaskan dasar perhitungan kerugian negara akibat kasus korupsi KUR tersebut.
"Modus potensi kerugian itu muncul dari (warga) hanya terima sebagian, ada yang fiktif, ada juga yang terima dalam bentuk alat pertanian tetapi tidak sesuai dengan fungsi," katanya.
Dalam rangkaian penyidikan ini, pihaknya sudah memeriksa para pihak terkait.
Diantaranya dari pengurus Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) NTB, hingga Ketua HKTI NTB, yang kini menjabat Wakil Bupati Lombok Timur Rumaksi.
Baca juga: Peternak Terdampak PMK Bakal Dapat Relaksasi KUR untuk Ringankan Beban Kredit
HKTI dalam program penyaluran bantuan dana bagi masyarakat petani ini bertugas sebagai pihak yang merekomendasikan sekaligus melakukan verifikasi terhadap kelompok tani yang pantas mendapatkan bantuan.
Selain HKTI, saksi yang pernah dipanggil penyidik adalah pihak perbankan yang memfasilitasi penyaluran bantuan dalam bentuk dana.
Bank tersebut merupakan salah satu badan usaha milik negara (BUMN) yang berkantor di Mataram.
Saksi lain dari CV ABB, perusahaan yang memberikan pendampingan kepada kalangan kelompok tani dalam mengelola dana bantuan.
"Untuk petani penerima, itu sudah ada 160 yang diminta keterangan, dari jumlah petani 789," katanya.
Program bantuan KUR untuk masyarakat petani di dua kabupaten di Pulau Lombok tersebut berjalan pada tahun 2020.
Bantuan disalurkan Kementerian Pertanian RI melalui salah satu bank milik negara.
Petani di wilayah Lombok Timur yang mendapat usulan masuk sebagai penerima dana KUR berasal dari kalangan petani jagung.
Setiap petani mendapat pinjaman tunai Rp 15 juta untuk luas lahan per hektare.
Penerima di Kabupaten Lombok Tengah berasal dari kalangan petani tembakau.
Setiap petani mendapat dana pinjaman dengan besaran Rp 30 juta hingga Rp 50 juta.
Dengan demikian, para petani yang terdaftar dalam data usulan penerima KUR wajib menjalani proses administrasi pinjaman.
Dalam proses tersebut, terlibat peran pihak ketiga, CV ABB serta HKTI NTB.
Mereka berperan sebagai mitra pemerintah dalam pendataan petani dan pengelolaan dana KUR.
Untuk keperluan administrasi petani jagung, mereka menjalankan pengajuan dana KUR dengan BNI Cabang Kota Mataram.
Sementara petani tembakau melalui BNI Cabang Praya, Kabupaten Lombok Tengah.
Perihal keberadaan CV ABB sebagai pihak ketiga ada dugaan kuat mendapat penunjukan langsung dari kementerian.
Begitu juga dengan keterlibatan HKTI NTB.
Persoalan dalam kasus ini pun mencuat ketika sejumlah petani mengajukan pinjaman ke BRI.
Pengajuan tidak dapat diproses karena muncul tunggakan KUR yang kini sedang berjalan di BNI.
Tunggakan mereka pun beragam, mulai dari Rp 15 juta hingga Rp 45 juta.
Nilainya bergantung pada kepemilikan luas lahan.
(*)