Walhi NTB Dorong KPK Evaluasi Izin Pertambangan di NTB
Sejumlah proyek strategis nasional dinilai Walhi NTB belum menguntungkan masyarakat, khususnya masyarakat NTB.
Penulis: Lalu Helmi | Editor: Maria Sorenada Garudea Prabawati
Demikian pula keharusan dalam menjaga ekologi serta ecosystem yang asri bukan menghadirkan pembangunan atau investasi yang mengancam atau bahkan memberikan dampak kerusakan ekologi dan ecosystem baik dikawasan hutan maupun di pesisir dan pulau pulau kecil di NTB, terlebih lagi tidak memberikan dampak ekonomi dan kesejateraan dan kemakmuran kepada rakyat sebagaimana mandate dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945;
Urgensi Demokratisasi SDA di NTB
Demokratisasi sumberdaya alam di NTB adalah hal penting dalam pengelolaan dan proses pembangunan di NTB. Keterlibatan penuh masyarakat dalam proses pembangunan harus tetap di jamin dan dilindungi dalam seluruh regulasi yang mengatur terkait pembangunan khususnya di NTB.
Hal ini berangkat dari fakta bahwa laju kerusakan hutan di NTB yang terbesar disebabkan oleh aktifitas pertambangan baik legal maupun illegal, sementara pengawasan dan penindakan serta penegakan hukum terhadap hal tersebut hampir tidak terdengar.
Aktivitas pertambangan baik skala kecil maupun skala besar tetap akan mengakibatkan daya rusak, sehingga perizinan tentunya merupakan pengaturan terhadap wilayah mana yang dapat dilakukan untuk aktifitas pertambangan dan tentu pula pengaturan siapa yang dapat diberikan izin dari aktifitas pertambangan.
Mengingat bahwa pertambangan dalam bentuk dan skala apapun memiliki daya rusak, dan berdampak penting bagi lingkungan, Perizinan pada sektor pertambangan seharusnya tidak hanya dipergunakan pemenuhan administrasi untuk penarikan retribusi, namun harus diletakkan sebagai upaya pembatasan dan kontrol dari daya rusak (tidak semua tempat, tidak semua orang).
Perspektif izin sebagai retribusi dan administrasi semata mendorong adanya mekanisme keterlanjuran (upaya pemutihan pelanggaran) yang menjadi preseden buruk penegakan hukum pertambangan.
Terkait hal tersebut di atas, kunjungan KPK ke provinsi NTB yang saat ini sedang dilakukan dalam rangka koordinasi dan supervisi dengan pemerintah daerah NTB (dari tanggal 20 – 24 Juni 2022) terkait Minerba/pertambangan seharusnya tidak sekedar melakukan kunjungan lapangan terhadap wilayah pertambangan di NTB, baik yang memiliki izin usaha pertambangan ataupun terhadap yang tidak berizin atau “Illegal Mining”.
Baca juga: Didominasi Wisatawan Lokal, 40 Ribu Tiket MXGP Ludes Terjual
Baca juga: Enam PMI Korban Kapal Tenggelam di Batam Masih Hilang, Jasad Warga Lombok Ditemukan Polisi Singapura
"Kita mendorong KPK agar bersikap tegas dalam melakukan evaluasi terhadap proses perizinan pertambangan dalam Kawasan hutan dan wilayah pesisir di NTB dengan mempertimbangkan “daya rusak/penghancuran” yang akan ditimbulkan oleh aktifitas usaha pertambangan," tandasnya.
Diakuinya, hal tersebut penting dilakukan sebab izin usaha pertambangan memiliki sejumlah risiko yang dapat memicu adanya beragam praktek korupsi seperti penyalahgunaan kekuasaan hingga gratifikasi.
Sejumlah risiko itu antara lain karena lemahnya sistem audit dan pengawasan baik keuangan maupun pertambangan, tertutupnya akses data dan informasi di sektor pertambangan.
Buruknya penegakan hukum atas ketidakpatuhan tata kelolapertambangan, serta lemahnya koordinasi vertikal dan horizontal terkait pemberian IUP.
Pihaknya menyebut KPK harus menyadari bahwa konsepsi teoritis “izin” adalah sesuatu pengecualian, yang memperbolehkan sesuatu/ suatu tindakan yang sebetulnya dilarang, sehingga, izin termasuk sebagai ketetapan yang bersifat konstitutif, yakni ketetapan yang menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam ketetapan itu, atau beschikkingen welke iets toestaan wat tevoren niet geoorloofd was (ketetapan yang memperkenankan sesuatu yang sebelumnya tidak diperboehkan).
Untuk itu pula, terhadap APH (aparat penegak hukum) di NTB, agar KPK juga mendorong secara tegas penindakan dan penegakan konstitusi oleh APH (aparat penegak hukum) terhadap illegal mining atau pertambangan tanpa izin terutama yang D
diduga kuat dilakukan oleh korporasi secara langsung maupun dangan modus “bersembunyi” dibalik individu.
(*)