Buya Syafii Maarif Mewariskan Kesederhanaan
Kesederhanaan Buya Syafii, begitu ia akrab disapa, antara lain terlihat ketika fotonya sedang menunggu kereta di Stasiun Tebet, Jakarta Selatan.
"Intinya Buya merasa semua sama, semua orang punya hak yang sama. Kultur egaliternya itu sangat kuat sehingga kalau ngantri Buya mengantre sesuai dengan nomor, tidak mau melewati," kata Erik.
Buya Syafii juga pernah menolak niat Rumah Sakit Pusat Kesejahteraan Umat (PKU) Muhammadiyah yang hendak menggratiskan biaya pengobatan istrinya, padahal Buya Syafii pernah menjadi orang nomor satu di Muhammadiyah.
"RS PKU tidak mau menerima uang (Buya), tapi akhirnya beberapa waktu kemudian istrinya dengan Buya menyumbangkan sekian untuk pembangunan di PKU," kata Erik.
Darraz menambahkan, Buya Syafii bahkan pernah menolak saat seseorang ingin membantu membawakan tasnya.
Di Yogyakarta, Buya Syafii juga tidak segan memenuhi pemrintaan murid-muridnya untuk makan bersama di angkringan. Tak heran, pria kelahiran 31 Mei 1935 itu dikenang sebagai sosok yang sederhana di mata warga Muhammadiyah.
"Kesederhanaan, kesahajaan dan sikap untuk tidak mau bergantung pada orang lain serta kemerdekaan jiwa manusia sepuh ini menjadi satu bentuk keteladanan yang harus ditiru, setidaknya bagi kami anak-anak ideologisnya," tutur Darraz.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com berjudul Meneladani Kesederhanaan Buya Syafii Maarif, Hobi Bersepeda dan Naik KRL