Berita Bima
Kerap Jadi 'Langganan' Densus 88, Tokoh Penatoi di Kota Bima Bertemu, Turut Hadirkan Napiter
Stigmatisasi terhadap Kelurahan Penatoi sebagai sarang radikalisasi di Kota Bima, mulai disikapi terbuka oleh tokoh dan warganya.
Penulis: Atina | Editor: Lalu Helmi
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Atina
TRIBUNLOMBOK.COM, KOTA BIMA - Stigmatisasi terhadap Kelurahan Penatoi sebagai sarang radikalisasi di Kota Bima, mulai disikapi terbuka oleh tokoh dan warganya.
Tidak hanya stigma, kelurahan ini juga kerap menjadi 'langganan' Densus 88 ketika terendus adanya gerakan radikalisme.
Selama puluhan tahun stigma ini tertancap kuat, warga dan tokoh setempat mulai menyikapinya dengan serius, dengan menggelar temu tokoh di kantor Kelurahan Penatoi Kecamatan Mpunda Kota Bima, Kamis (17/3/2022).
Baca juga: Ini Penampakan Marq Marquez dan Pembalap MotoGP Mandalika 2022 Track Walk di Sirkuit Mandalika
Baca juga: Alasan ITDC Tidak Bisa Tambah Tiket MotoGP Mandalika 2022, Amanah Presiden Jokowi hingga Pandemi
Seluruh Ketua Rt di kelurahan ini hadir, tokoh warga, hingga dua mantan napi terorisme (Napiter).
Juga terlihat hadir Camat Mpunda, perwakilan Kementerian Agama Kota Bima, Ketua MUI dan perwakilan Bappeda Litbang.
Sayangnya, tidak terlihat hadir kepala atau perwakilan Kesbangpol Kota Bima yang juga menjadi pihak yang diundang warga.
Ketua panitia kegiatan Iwan Kamaruzaman saat laporan menyampaikan, masyarakat Penatoi geram dan resah dengan penangkapan para terduga teroris yang selama ini terjadi.
“Kami juga tidak mau berdiam diri lagi, berikan kami konsep secara permanen dalam hal penyelesaian masalah radikalisme ini,” kata Ketua LPM Kelurahan Penatoi itu.
Lurah Penatoi Kaimudin juga mengakui, keresahan masyarakat sudah dirasakan sejak belasan tahun.
Oleh karena itu, dirinya menginginkan Penatoi segera berubah dan keluar dari zona merah.
Ia juga meminta petunjuk dari Pemerintah Kota Bima, agar bersama-sama menyelesaikan masalah radikalisme dan terorisme sampai hingga tuntas.
“Agar stigma negatif sebagai kelurahan sarang teroris hilang dari Penatoi,” tegasnya.
Camat Mpunda Iskandar Zulkarnain berharap, pertemuan terkait radikalisme ini semoga menjadi pertemuan terakhir.
Diajaknya agar sama-sama mencari solusi agar menyelesaikannya.
“Kita bersama pemerintah bergandengan tangan, bersatu padu membangun Penatoi agar keluar dari stigma negatif zona merah,” katanya.
Pada sesi penyampaian materi oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bima H Abidin H Idris, mengajak tokoh-tokoh yang ada untuk sering bersilaturahmi dengan kelompok yang terindikasi jamaah radikal atau teroris.
Menurut Abidin, permasalahan khilafah dari kelompok jamaah dulu sangatlah kental, namun sekarang sudah reda.
Tetapi persatuan yang kokoh ini tetap memiliki gangguan, bisa melalui berbagai macam propaganda dari pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Tujuannya untuk memecah belah umat Islam, sehingga memunculkan aliran-aliran yang menganggap diri benar dan mengkafirkan yang lain,” jelasnya.
Ketua MUI menambahkan, radikal atau teroris ini ingin menghancurkan agama Islam.
Maka perlu dibuat pertahanan yang kokoh, mulai dari orang tua yang harus menjadi contoh baik bagi anak-anak dan harus selalu mengamati tingkah laku dan gerak-gerik anak-anaknya.
“Jika memang ada terindikasi kelompok radikal, ditindak tegas,” ujarnya.
Selain para tokoh ini, Napiter atas nama Iskandar juga menyampaikan banyak catatan penting dalam deradikalisasi.
Ia mengungkap, apa yang sudah dilakukannya pada masa lalu bisa menjadi referensi langkah apa saja yang harus dilakukan saat ini.
"Kami kembali dan sadar seperti ini, bukan karena dipenjara atau disiksa. Kami melalui proses yang panjang, setelah bergaul dengan banyak orang," akunya.
Persoalan yang paling pokok adalah kata Iskandar, masalah hati dan mudah mempraktekkan.
"Inilah yang harus kita ubah," tegasnya.
Persoalan kedua sebut Iskandar, kalangan yang memahami islam dengan radikal ini kurang memahami perbedaan.
"Jika bicara hilafiah, kalau ini harus salawat dulu, ini harus ada tahlilan, stigma warga Penatoi harus dibuang. Karena hilafiah ini sudah sejak lama ada," ungkapnya.
Belum lagi stigma terhadap praktek pesantren, yang dianggap sesat.
Padahal tegas Iskandar, jika ingin benar-benar mengetahuinya maka harus masuk dan melihat langsung.
"Ajaran abi abi itu langsung disebut sesat, radikal. Padahal nggak begitu juga. Ayok kenal dulu, bisa dilihat di sana murni mengajar mengaji. Kalau terus distigma maka itu akan menyakiti. Apalagi sampai ada usulan untuk dibubarkan," beber Iskandar.
Ia berharap, deradikalisasi bisa fokus dilakukan dengan cara-cara pendekatan kekeluargaan.
Karena menurutnya, deradikalisasi tidak akan berhasil jika hanya dilakukan sekali dua kali program saja tapi harus berkelanjutan.
(*)