Menilik Perang Api, Tradisi Jelang Hari Raya Nyepi Umat Hindu Lombok Penolak Wabah Penyakit

Dua kubu pemuda antar kampung Negara Saka dan Sweta saling berhadapan perang api sambut Nyepi

Penulis: Patayatul Wahidah | Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNLOMBOK.COM/PATAYATULWAHIDAH
Persiapan pemuda sebelum perang api dimulai, Rabu (2/3/2022) 

Laporan Wartawan Tribunlombok.com, Patayatul Wahidah

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – Tepat pukul 17.30 WITA dua kubu pemuda antar kampung Negara Saka dan Sweta saling berhadapan.

Sebagian bertelanjang dada sementara sebagian lagi menggunakan kaus putih telah bersiap membawa ‘bobok’ atau daun kelapa kering memenuhi seputaran Tugu Tani, Cakranegara, Kota Matara, NTB.

Tak hanya pemuda dari kedua kampung, lokasi tersebut juga telah dipenuhi oleh warga yang antusias menyaksikan tradisi perang api tersebut.

Menjelang senja, tanpa aba-aba api disulut menyala pada setiap bobok yang dibawa oleh kedua kubu tanda perang api telah dimulai.

Baca juga: Hari Raya Nyepi 2022, Tradisi Perang Api di Lombok Berlangsung Kondusif, Dibatasi Hanya 10 Menit

Tradisi perang api berlangsung riuh dengan kedua kubu saling memukul lawan menggunakan bobok yang menyala.

Selang 15 menit berlangsung, tradisi perang api usai ditandai dengan hujan dari water canon yang disemprotkan oleh aparat.

Meski wajah penuh jelanga dan tubuh terluka, namun tradisi perang api tersebut ditutup dengan peluk dan canda tawa dari kedua belah pihak.

Tidak ada perseteruan, semua kompak membersihkan sisa-sisa bobok yang memenuhi jalan Cakranegara tersebut.

Baca juga: Ini Perbedaan Perayaan Nyepi di Lombok dan Bali, Penggunaan Ponsel hingga Fasilitas Umum

“Tidak ada dendam, tidak ada yang memprovokasi, tidak ada yang berniat untuk tidak baik, semuanya tujuannya untuk baik,” kata Komang Kertayasa, tokoh pemuda kampung Negara Saka kepada Tribun Lombok, Rabu (2/3/2022).

Menurut Komang, tradisi perang api atau perang bobok ini merupakan tradisi turun temurun yang diadakan sebelum Hari Raya Nyepi.

Biasanya digelar setelah arak-arakan ogoh-ogoh.

Komang pun tidak tahu kapan asal mula tradisi ini dilakukan

Akan tetapi, Komang menilai jika tradisi ini bertujuan untuk menolak wabah penyakit sebelum Hari Raya Nyepi.

Setiap bara api yang menyentuh kulit diyakini dapat menghindarkan diri dari penyakit.

“Tidak bisa dihentikan (tradisi perang api), kalau dihentikan kita khawatir duaTidak bisa dihentikan (tradisi perang api), kalau dihentikan kita khawatir dua kampung ini akan terkena wabah penyakit,” pungkasnya.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved