Pemilik Warung Lalapan di Senggigi Menghadapi Pandemi Covid-19, Bertahan Hidup sampai Jual Motor
Dalam triwulan tersebut, di NTB, hanya 54,55% persen usaha akomodasi makanan dan minuman yang masih beroperasi seperti biasa.
Penulis: Robbyan Abel Ramdhon | Editor: Lalu Helmi
Biaya sewa yang dibayarnya sebesar Rp15 juta per tahun, dimulai sejak 2020 lalu.
Kini, warung yang berdiri di atas lahan 6 are itu dijadikannya tempat tinggal bersama keluarganya.
Adi memiliki sembilan anak. Lima sudah hidup mandiri, empat di antaranya masih bergantung pada Adi.
Dua dari mereka berusia SD dan TK, dua lainnya berusia SMA.
“Sejak 2008, ketemu masalah yang paling sulit ya sekarang ini,” keluhnya.
Adi bersama istri dan anak-anaknya pindah ke Lombok dari Jakarta pada tahun 2008.
Pada tahun itu pula, ia memulai usaha dengan menjual kerupuk di Pasar Kebon Roek, Mataram.
Barulah setahun setelahnya, Adi mulai merintis warung lalapan dengan berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain di seputaran Lombok Barat.
“Dulu pernah di Kebon Roek, Meninting, Montong, depan Sasaku, sampai akhirnya di sini,” kenangnya.
Adi mengingat bagaimana event WSBK november tahun lalu tidak membawa dampak yang signifikan terhadap perkembangan warungnya.
“Tidak ada,” jawabnya, melambaikan tangan.
Mengenai event MotoGP Mandalika 2022 yang akan datang, Adi berkomentar:
“Yang datang itu kan kelas-kelas atas, mereka mungkin tidak terlalu melirik warung kami,” tutupnya, sambil bergurau.
(*)