Pemilik Warung Lalapan di Senggigi Menghadapi Pandemi Covid-19, Bertahan Hidup sampai Jual Motor
Dalam triwulan tersebut, di NTB, hanya 54,55% persen usaha akomodasi makanan dan minuman yang masih beroperasi seperti biasa.
Penulis: Robbyan Abel Ramdhon | Editor: Lalu Helmi
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Robbyan Abel Ramdhon
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK BARAT – Kemerosotan ekonomi masyarakat kian terlihat. Hal ini terutama sejak masuknya kasus pertama covid-19 di Indonesia pada Maret 2020 solam.
Di NTB, dampak pandemi pada wilayah ekonomi mulai dirasakan akhir triwulan II-2020 dan terkontraksi mencapai sebesar 1,40 persen mengacu pada survei Badan Pusat Statistika (BPS) NTB 2020.
Dalam triwulan tersebut, di NTB, hanya 54,55% persen usaha akomodasi makanan dan minuman yang masih beroperasi seperti biasa.
Baca juga: Pantai Duduk Senggigi Mulai Ramai Pengunjung, Pengelola: Efek Dilonggarkannya Razia Prokes
Baca juga: Menjelang Event MotoGP Mandalika 2022, Okupansi Hotel di Senggigi Capai 90%
Sisanya menyesuaikan dengan melakukan WFH, pengurangan jam kerja, perumahan pekerja, hingga penutupan sementara.
Berdasarkan survei itu juga, diketahui hanya sekitar 55 usaha dari 100 usaha berbasis akomodasi dan makan minuman yang masih beroperasi.
Sektor usaha ini menjadi usaha yang memberhentikan pekerja dalam waktu singkat sebesar 19,51%.
Jumlah yang sama dengan sektor perdagangan.
Adi (54), seorang pemilik warung lalapan di jalan raya Senggigi, Batu Layar, Lombok Barat, menjadi bagian dari pengusaha akomodasi makanan dan minuman yang terdampak pandemi covid-19.
Ia pernah memiliki delapan karyawan yang saat ini semuanya telah dirumahkan.
Adapun gaji yang diberikan Adi pada para karyawannya sebesar Rp800 hingga Rp1 juta.
Di hari-hari biasa sebelum pandemi, Adi bisa meraup omzet hingga Rp2,5 juta per hari.
Baginya, jumlah karyawan dengan gaji sebesar itu, sebelum pandemi, telah sesuai dengan perhitungan pendapatannya per bulan.
“Sekarang seratus ribu saja sulit. Jangankan seratus ribu, seribu perak saja belum tentu,” kata Adi, Minggu pagi (6/2/2022).
Ketika Tribunlombok.com datang ke warung lalapan milik Adi, tampak ada dua pasang kursi-meja panjang berukuran 2 meter.
Dan satu meja dengan ukuran yang sama tanpa kursi untuk pengunjung yang ingin duduk lesehan.
Warung tersebut sekilas seperti tutup karena etalase makanan yang kosong dan kursi-kursi yang sepi.
Adi dan istrinya, duduk di karpet tengah sibuk melipat pakaian mereka yang baru disetrika.
Ketika mendirikan bisnis warung lalapannya di Senggigi pada 2020 awal (sebelum pandemi), Adi mengaku mengeluarkan modal sebesar Rp3 juta rupiah (di luar biaya sewa lahan).
Bangunan warung dikerjakannya secara mandiri. Modal yang dikeluarkannya digelontorkan untuk membeli bahan-bahan makanan dan keperluan dapur.
Hingga saat wawancara bersama Tribunlombok.com, ia mengungkapkan baru sebesar lima persen saja dari seluruh modalnya yang keluar telah kembali.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya sendiri selama pandemi, Adi sampai menjual tiga motor miliknya (1 jenis Vario & 2 Revo), dan saat ini hanya mengandalkan satu motor (Supra) pinjaman untuk mobilisasi.
Selain menjual motor, Adi pun melakukan pinjaman ke bank guna mempertahankan usaha dan memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarganya.
Modal-modal yang telah dikumpulkannya dengan berbagai cara itu, tutur Adi, setiap hari kian menipis.
Sedangkan kebutuhan dapur warungnya saja, dalam sekali berbelanja, Adi harus menghabiskan minimal Rp100 ribu rupiah dengan pembagian 2 kg ayam potong, ditambah rempah-rempah dan sayuran.
Di sisi lain, ia juga harus mengalokasikan anggaran sebesar Rp500 ribu tiap bulannya untuk membeli token listrik.
Jika Adi mengeluarkan sebesar Rp500 per bulan untuk listrik, dan Rp100 ribu untuk keperluan dapur warung per tiga hari selama sebulan, maka ia membutuhkan modal Rp1 juta tiga ratus ribu untuk mengoperasikan warungnya selama sebulan.
“Sekarang setengah dari lima ratus ribu saja sulit,” tandas Adi.
Adi merasa beruntung, karena pemilik lahan tempat ia mendirikan warung, tidak menuntut biaya sewa dibayar tepat waktu.
“Sama-sama paham kondisi sama yang punya lahan,” katanya.
Biaya sewa yang dibayarnya sebesar Rp15 juta per tahun, dimulai sejak 2020 lalu.
Kini, warung yang berdiri di atas lahan 6 are itu dijadikannya tempat tinggal bersama keluarganya.
Adi memiliki sembilan anak. Lima sudah hidup mandiri, empat di antaranya masih bergantung pada Adi.
Dua dari mereka berusia SD dan TK, dua lainnya berusia SMA.
“Sejak 2008, ketemu masalah yang paling sulit ya sekarang ini,” keluhnya.
Adi bersama istri dan anak-anaknya pindah ke Lombok dari Jakarta pada tahun 2008.
Pada tahun itu pula, ia memulai usaha dengan menjual kerupuk di Pasar Kebon Roek, Mataram.
Barulah setahun setelahnya, Adi mulai merintis warung lalapan dengan berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain di seputaran Lombok Barat.
“Dulu pernah di Kebon Roek, Meninting, Montong, depan Sasaku, sampai akhirnya di sini,” kenangnya.
Adi mengingat bagaimana event WSBK november tahun lalu tidak membawa dampak yang signifikan terhadap perkembangan warungnya.
“Tidak ada,” jawabnya, melambaikan tangan.
Mengenai event MotoGP Mandalika 2022 yang akan datang, Adi berkomentar:
“Yang datang itu kan kelas-kelas atas, mereka mungkin tidak terlalu melirik warung kami,” tutupnya, sambil bergurau.
(*)