EKSPEDISI TAMBORA 1951
Tim Ekspedisi Tambora Batal Berangkat ke Sumbawa Karena Ketinggalan Kapal Laut
Letusan Gunung Tambora dianggap paling spektakuler di muka bumi, sesudah letusan katastrofik masa prasejarah Gunung Api Toba di Sumatera Utara.
Penulis: krisnasumarga | Editor: krisnasumarga
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Gunung Tambora di Pulau Sumbawa meletus super dahsyat pada 5-11 April 1815. Kisahnya mendunia lewat laporan para geolog, vulkanolog, antropolog dan ahli sejarah barat.
Catatan tertulis masyarakat lokal sangat terbatas. Letusan itu telah mengubur banyak hal di sekitar gunung, termasuk melenyapkan tiga kerajaan hampir tanpa jejak.
Letusan Gunung Tambora dianggap paling spektakuler di muka bumi, sesudah letusan katastrofik masa prasejarah Gunung Api Toba di Sumatera Utara.
Sebanyak 150 kilometer persegi material dimuntahkan dari perut Tambora. Hampir sebagian besar puncaknya lenyap, menyisakan kaldera maha luas yang tampak hingga hari ini.
Pengetahuan tentang peristiwa itu selama berpuluh-puluh tahun sejak terjadinya letusan spektakuler 11 April 1815, banyak disandarkan pada laporan dan tulisan orang-orang Eropa.

Baca juga: Gulungan Api Raksasa Tambora Menyapu Segala Penjuru Gunung
Baca juga: Tanda-tanda Letusan Gunung Tambora Muncul Tiga Tahun Sebelum April 1815
Baca juga: Heinrich Zollinger, Orang Pertama yang Mendaki Tambora Sesudah Meletus Hebat
Kenyataan itu menantang Djawatan Pertambangan Republik Indonesia, negeri yang umurnya masih sangat belia. Mereka membentuk tim terdiri pegawai lokal, dan diberi tugas khusus.
Empat pegawainya, menjadi orang-orang pertama pribumi yang menginjakkan kaki di kaldera Gunung Tambora. Mereka adalah Adnawijaya, Chatib, Rukman dan Hamim.
Ekspedisi berat itu berlangsung antara April hingga Juni 1951. Dinas Gunung Berapi (DGB) waktu itu dipimpin seorang Belanda, Drs GA de Neve. Adnawijaya dan kawan-kawan berangkat ke Tambora pada 17 Maret 1951.
Perjalanan dimulai dari kantor DGB di Bandung menuju pelabuhan Tanjungpriok di Jakarta. Kapal laut De Eerens diperkirakan berangkat tanggal itu dan tiba di Sumbawa 22 Maret.
Chatib dan Hamim berangkat lebih dulu 13 Maret menggunakan kendaraan via Cianjur-Bogor-Jakarta. Sementara Adnawijaya dan Rukman menyusul 16 Maret naik kereta api.
Sarana komunikasi jarak jauh masih langka. Adnawijaya dan Rukman tidak tahu apa yang terjadi di Jakarta hingga mereka meninggalkan Bandung.
Tiba di penginapan Sukahati di Jakarta 16 Maret malam, tiba-tiba mereka diberi kabar kapal De Eerens sudah berlayar pada 13 Maret, atau tiga hari sebelumnya.
Chatib dan Hamim bahkan sudah kembali ke Bandung menggunakan mobilnya tanpa berkabar karena sulitnya telekomunikasi.
Misi pun batal, dan Adnawijaya serta Rukman balik menyusul pulang ke Bandung hari berikutnya. Kepala DGB Drs GA De Neve saat itu berada di Sulawesi Utara memeriksa Gunung Lokon.
Begitu masuk ke kantor 19 Maret, ia tercengang, tim ekspedisi Tambora ternyata gagal berangkat. Padahal segala sesuatu sudah disiapkan matang, termasuk komunikasi ke pemerintah di Bima dan Sumbawa.