Sejarah Tambora
Gulungan Api Raksasa Tambora Menyapu Segala Penjuru Gunung
Gunung Tambora di Pulau Sumbawa meletus dahsyat April 1815. Letusannya menyapu dan memusnahkan kerajaan Tambora dan Pekat.
Penulis: krisnasumarga | Editor: krisnasumarga
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – “Maka gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu, kemudian maka berbunyilah seperti meriam orang perang, kemudian maka turunlah kersik batu abu seperti dituang, lamanya tiga hari dua malam.”
Penggal sejarah kronik Kerajaan Bima itu ditulis pada Selasa subuh, 11 April 1815. Bunyi lain bagian penutup hikayat kuno itu, menceritakan sebagai berikut;
“Demikianlah adanya itu, yaitu pecah Gunung Tambora menjadi habis mati orang Tambora dan Pekat pada masa Raja Tambora bernama Abdul Gafur dan Raja Pekat bernama Muhammad.”
Kronik itu dikutip sejarahwan asal Prancis, Henry Chambert-Loir ketika menyusun buku Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah (2005).
Baca juga: Rusia Tertarik Investasi Pariwisata di NTB, Lirik Skylift Rinjani, Tambora hingga Global Hub
Baca juga: Gubernur NTB Usulkan Pembangunan Bandara di Dompu, Permudah Akes ke Tambora
Hampir 207 tahun lalu, letusan super dahsyat Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat dimulai. Bumi bergemeletar menakutkan pada hari itu, Kamis, 5 April 1815.
Antropolog Belanda, Bernice de Jong, secara apik meruntutkan kisah itu dalam buku “Letusan Gunung Tambora 1815 (Ombak, 2012)”.
Gunung raksasa itu mulai menyemburkan batu kerakal, kerikil, batu apung, abu. Gelegar letusannya membuat gentar.
Penduduk Kerajaan Pekat, Tambora, dan Sanggar belum menyadari maut mengintai mereka. Letusan pertama hari itu menjadi tembakan salvo yang mengawali rangkaian ledakan mematikan berikutnya.
Catatan Raffles
Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles (Inggris) yang berkuasa di Nusantara waktu itu mencatat secara baik kejadian yang menyertai letusan Tambora.
“Letusan-letusan itu terdengar dari berbagai penjuru angin,” tulis Raffles di Batavia, merangkum laporan para residennya di berbagai daerah pada September 1815.
“….on the night of the 10th, the explosion become truly tremendous, frequently shaking the earth an sea violently,” tulis Raffles. Cerita belum berakhir. “…on the night of the 11th, the explosion…have been most terrific.”
Laporan itu dirangkum lima bulan setelah Tambora mengamuk. Namun menjadi data sejarah tertulis paling sahih dan runtut yang pernah ada.
Pada mulanya, ledakan-ledakan mengerikan itu dianggap bagian dari peperangan. Terutama yang didengar di Surabaya, Solo, Yogya, Bengkulu, Bangka, Makassar, dan Ternate.
Pasukan kolonial disiagakan, dan beberapa residen mengirimkan patroli untuk memeriksa situasi di front terdepan karena menduga ada serangan meriam musuh.
Sehari sesudah rentetan ledakan pada 5 April 1815, para penguasa kolonial di Jawa beralih pikiran karena turun hujan abu sangat pekat dan deras.
Mereka mengira Gunung Kelud, Bromo atau Merapi yang meletus. Di beberapa daerah di Jawa, seperti Solo dan Rembang, siang menjadi gelap gulita tertutup awan debu vulkanik.
Suasana ini secara sederhana bisa digambarkan seperti ketika awan hujan abu vulkanik Gunung Kelud mengguyur sebagian wilayah Yogyakarta, dini hari hingga pagi, 13 Februari 2014.
Pagi itu sangat gelap. Sinar matahari tak mampu menembus langit Yogya yang dipenuhi debu tebal. Menjelang siang baru cuaca berangsur terang saat arak-arakan abu itu tuntas mendarat di tanah.
Ledakan keras 5 April 1815 sebagai salvo pembuka, bagi masyarakat di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, akan ditutup gelegar pamungkas pada malam 10 April dan hari berikutnya 11 April 1815.
Sekitar pukul tujuh malam di tanggal 10 April, tiga kolom api terpisah muncul di puncak Tambora. Nyala itu membesar, membubung ke angkasa dan kemudian menyatu dalam kolom api raksasa.
Gulungan batang tubuh api itu sebagian turun ke lereng-lereng di sekelilingnya, di semua jurusan. Kegelapan hebat menutupi kaki gunung, disusul hujan batu berukuran sekepalan tangan.
Antara pukul 9 hingga 10 malam itu, angin api kuat menyapu melenyapkan segala yang ada di wilayah Kerajaan Sanggar.
Batang pohon tercerabut berikut akarnya. Terbang ke udara bersama rumah, manusia, ternak dan segala yang ada di permukaan daratan.
Nasib Kerajaan Pekat dan Tambora
Nasib dua wilayah lain, Kerajaan Pekat dan Kerajaan Tambora, berakhir tragis. Tak ada sisa apapun di Pekat dan Tambora. Wilayah itu terkubur pasir dan abu bermeter-meter.
Kisah mengerikan ini didapatkan Letnan Owen Phillips, utusan Raffles ketika bertemu Raja Sanggar di Dompu. Tokoh itu lolos dari maut bersama keluarga dan segelintir warganya.
Owen Phillips menulis surat laporan kepada Raffles pada 23 April 1815, atau 13 hari setelah letusan Tambora mereda. Owen Phillips ada di Bima saat menulis laporan menyesakkan itu.
“Kesengsaraan tampak ekstrem. Penduduk berkurang drastis. Masih banyak mayat di pinggir jalan. Desa-desa hampir seluruhnya sepi, rumah-rumah ambruk, sisa penduduk menyebar berusaha mencari tempat berlindung.”
Hari-hari malapetaka Tambora itu juga terekam dari laporan Residen Cirebon. Kepada Raffles, ia menyatakan, bumi yang diinjaknya bergetar berkali-kali. Warga bingung atas apa yang dialaminya.
Residen Solo melaporkan, pada pukul 4 sore, jarak pandang maksimal hanya 300 yard. Gresik juga dilanda kegelapan.
Di Banyuwangi, endapan abu mencapai 8 inchi atau sekitar 20 cm. Warga Pulau Bali, meski berdekatan dengan Sumbawa, masih menyangka Gunung Agung di Karangasem yang mengamuk.
Kesaksian lain datang dari komandan kapal penjelajah Benares yang berangkat dari pelabuhan Makassar pada 13 April. Kapal itu tiba di lepas pantai Sumbawa, lima hari kemudian, atau 18 April 1815.
Ketika mendekati pantai Sumbawa, komandan kapal itu menemukan permukaan laut dipenuhi batu apung kehitaman setebal beberapa inchi. Juga gelondongan kayu yang mengambang.
Kapal itu melanjutkan pelayaran mendekati pesisir ke arah Tambora. Dari jarak enam mil, puncak gunung itu tertutup awan.
Namun lereng-lerengnya masih menyala, mengalir lelehan lahar merah membara. Di beberapa tempat sudah mencapai laut.(Tribunlombok.com/Setya Krisna Sumarga)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/lombok/foto/bank/originals/kaldera-gunung-tambora.jpg)