Sejarah Tambora

Gulungan Api Raksasa Tambora Menyapu Segala Penjuru Gunung

Gunung Tambora di Pulau Sumbawa meletus dahsyat April 1815. Letusannya menyapu dan memusnahkan kerajaan Tambora dan Pekat.

Penulis: krisnasumarga | Editor: krisnasumarga
Tribunlombok.com/Setya Krisna Sumarga
KALDERA TAMBORA - Panorama kaldera Tambora diabadikan dari sisi timur puncak gunung di jalur pendakian Piong, Kecamatan Sanggar, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. 

Sehari sesudah rentetan ledakan pada 5 April 1815, para penguasa kolonial di Jawa beralih pikiran karena turun hujan abu sangat pekat dan deras.

Mereka mengira Gunung Kelud, Bromo atau Merapi yang meletus.  Di beberapa daerah di Jawa, seperti Solo dan Rembang, siang menjadi gelap gulita tertutup awan debu vulkanik.   

Suasana ini secara sederhana bisa digambarkan seperti ketika awan hujan abu vulkanik Gunung Kelud mengguyur sebagian wilayah Yogyakarta, dini hari hingga pagi, 13 Februari 2014.

Pagi itu sangat gelap. Sinar matahari tak mampu menembus langit Yogya yang dipenuhi debu tebal. Menjelang siang baru cuaca berangsur terang saat arak-arakan abu itu tuntas mendarat di tanah.

Ledakan keras 5 April 1815 sebagai salvo pembuka, bagi masyarakat di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, akan ditutup gelegar pamungkas pada malam 10 April dan hari berikutnya 11 April 1815.

Sekitar pukul tujuh malam di tanggal 10 April, tiga kolom api terpisah muncul di puncak Tambora. Nyala itu membesar, membubung ke angkasa dan kemudian menyatu dalam kolom api raksasa.

Gulungan batang tubuh api itu sebagian turun ke lereng-lereng di sekelilingnya, di semua jurusan. Kegelapan hebat menutupi kaki gunung, disusul hujan batu berukuran sekepalan tangan.

Antara pukul 9 hingga 10 malam itu, angin api kuat menyapu melenyapkan segala yang ada di wilayah Kerajaan Sanggar.

Batang pohon tercerabut berikut akarnya. Terbang ke udara bersama rumah, manusia, ternak dan segala yang ada di permukaan daratan.

KOLEKSI ISTANA: Benda-benda pusaka peninggalan Kesultanan Sumbawa dipamerkan di Istana Dalam Loka, Kabupaten Sumbawa, saat perayaan Festival Tambora Menyapa Dunia, 7 April 2017 silam.
KOLEKSI ISTANA: Benda-benda pusaka peninggalan Kesultanan Sumbawa dipamerkan di Istana Dalam Loka, Kabupaten Sumbawa, saat perayaan Festival Tambora Menyapa Dunia, 7 April 2017 silam. (TribunLomok.com/Sirtupillaili)

Nasib Kerajaan Pekat dan Tambora

Nasib dua wilayah lain, Kerajaan Pekat dan Kerajaan Tambora, berakhir tragis. Tak ada sisa apapun di Pekat dan Tambora. Wilayah itu terkubur pasir dan abu bermeter-meter. 

Kisah mengerikan ini didapatkan Letnan Owen Phillips, utusan Raffles ketika bertemu Raja Sanggar di Dompu. Tokoh itu lolos dari maut bersama keluarga dan segelintir warganya.

Owen Phillips menulis surat laporan kepada Raffles pada 23 April 1815, atau 13 hari setelah letusan Tambora mereda. Owen Phillips ada di Bima saat menulis laporan menyesakkan itu.

“Kesengsaraan tampak ekstrem. Penduduk berkurang drastis. Masih banyak mayat di pinggir jalan. Desa-desa hampir seluruhnya sepi, rumah-rumah ambruk, sisa penduduk menyebar berusaha mencari tempat berlindung.”

Hari-hari malapetaka Tambora itu juga terekam dari laporan Residen Cirebon. Kepada Raffles, ia menyatakan, bumi yang diinjaknya bergetar berkali-kali. Warga bingung atas apa yang dialaminya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved