Perdagangan Orang di NTB
Sindikat TPPO Pandai Akali Aturan, Pencegahan Harus Berbasis Desa
Mereka bekerja sama dengan oknum petugas mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga dinas kabupaten/kota.
Penulis: Sirtupillaili | Editor: Wulan Kurnia Putri
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Sirtupillaili
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Banyaknya orang terlibat dan mencari keuntungan dalam proses pengiriman buruh migran membuat praktik pemalsuan identitas seakan lumrah di tengah masyarakat.
Kadang-kadang calon pekerja sudah tahu identitasnya dipalsukan.
Di samping itu, para tekong dan calo bekerja sama dengan oknum-oknum petugas pelayanan. Sehingga mereka dengan mudah memanipulasi data kependudukan.
”Calo kan banyak uangnya, dia tembak orang (menyogok) bisa keluar KTP, usianya bisa dinaikkan kalau kurang,” ungkap Kepala Bidang Penepatan dan Perluasan Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTB Abdul Hadi.
Mereka bekerja sama dengan oknum petugas mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga dinas kabupaten/kota.
Tapi sekarang, kata Hadi, praktik semacam itu mulai berkurang seiring penerapan sistem elektronik.
”Dulu-dulu tidak kita pungkiri, termasuk paspor (pekerja migran) pernah namanya Andi, besok kalau tidak bisa masuk diganti namanya Amid,” ungkapnya.
Sebelum penerapan e-KTP, Hadi pernah mempergoki calo pekerja migran membawa blangko KTP kosong. Sehingga mereka sangat mudah memanipulasi data kependudukan.
”Calo beli blangko kosong yang sudah ditandatangani,” ungkapnya.
Pembuatan KTP secara manual memberi banyak celah oknum-oknum untuk memanipulasai data kependudukan. KTP manual memungkinkan orang bisa memiliki 4-5 kartu identitas.
”Tapi sejak sistemnya online, hal itu sulit dilakukan,” katanya.
Meski demikian, para calo pekerja migran tidak pernah kehilangan akal.
Mereka selalu beradaptasi dengan aturan pemerintah, sehingga pandai mencari celah.
Salah satu kasus yang ditemukan di Kota Mataram, karena tekong itu tidak bisa mengubah KTP lagi, dia memalsukan surat keterangan perusahaan dan rekomendasi kabupaten/kota.
”KTP-nya benar semua, tetapi dia buat surat keterangan palsu,” ungkapnya.
Akhirnya, Disnakertrans NTB tidak memberikan mereka rekomendasi dan dilaporkan polisi.
Kasus itu menunjukkan, para sindikat punya seribu akal untuk bisa mengirim pekerja migran, meski tidak melalui prosedur yang benar.
Dampaknya, para pekerja yang mereka kirim rentan dieksploitasi dan disiksa di negara penempatan. Termasuk mereka yang menjadi korban TPPO.
Disnakertrans Provinsi NTB mencatat jumlah buruh migran bermsalah asal NTB mencapai 3.000 orang tahun 2019. Sedangkantahun 2020, jumlah pekerja bermasalah 2.000 orang.
”Tidak semuanya korban TPPO, tapi mereka ini ada yang disiksa dan dipenjara,” katanya.
Kebanyakan pekerja migran bermasalah karena tidak mendapat pelatihan sebelum berangkat.
Sehingga di negara penempatan mereka tidak bisa beradaptasi kemudian disiksa majikan.
Zuhriatun, aktivis pendamping buruh migran NTB menilai, pemerintah belum benar-benar serius memberantas mafia buruh migran.
Ia meminta pemerintah membersihkan dan menindak setiap pelaku tindak perdagangan orang.
Selain pendekatan hukum, pencegahan di tingkat desa sangat penting.
Setiap warga yang mau berangkat keluar negeri, harusnya diketahui pemerintah desa setempat. Sehingga orang yang keluar bisa terpantau.
”Pencegahan TPPO bisa berbasis desa,” tandasnya.
(*)