Rekening FPI Resmi Diblokir Pemerintah, Isi Saldonya Capai Rp 1 Miliar

Rekening FPI resmi diblokir pemerintah, isi saldonya capai Rp 1 Miliar. FPI berusaha agar uang tersebut dapat ditarik lagi

Editor: wulanndari
Tribunnews/Jeprima
Pasukan TNI-polri berpakaian lengkap saat mencoba menurunkan atribut Front Pembela Islam (FPI) di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, Rabu (30/12/2020). Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD dalam jumpa pers yang didampingi sejumlah menteri dan kepala lembaga menyatakan bahwa Pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan FPI, karena FPI tidak lagi memiliki legal standing. keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 Pejabat Tertinggi. Mereka yang membubuhkan teken pada SK Bersama itu adalah Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kapolri, serta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). 

Pijakan yuridis SKB tersebut adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. 

Baca juga: Tokoh FPI Bentuk Organisasi Baru, Politikus PPP : Tak Melanggar Hukum

"Dalam konteks dan kepentingan itu dan jika kita mengkaji dari aspek yang lebih elementer dan substantif pada tingkat konstitusi (UUD NRI Tahun 1945), khususnya ketentuan pasal 28 yang mengatur bahwa 'Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang'," kata Fahri kepada Tribunnews.com, Jumat (1/1/2021).

"Maka secara 'a contrario' dapat dikatakan UU Ormas saat ini tidak sejalan dengan spirit konstitusional sepanjang berkaitan dengan pengaturan hak berserikat dan berkumpul yang merupakan seperangkat hak asasi manusia yang telah dijamin oleh konstitusi."

Baca juga: FPI Versi Baru Dibentuk, Ini Pernyataan Menkopolhukam dan Legislator PKS

Fahri memaparkan bahwa memang secara teknis UU Ormas ini berpotensi membuka peluang pelarangan dengan adanya SKT dan mekanisme pembubaran tanpa melalui mekanisme pengadilan. 

Hal tersebutlah posisi hukum SKB saat ini, yang tentunya mendapat pijakan rezim pengaturan dalam UU Ormas saat ini. 

Idealnya, kata dia, harus kembali kepada prinsip dan ajaran hukum bahwa pembubaran hanya bisa dilakukan melalui mekanisme pengadilan, bukan oleh pemerintah. 

"Sebab kalau pembubaran lewat mekanisme yudisial lebih mencerminkan prinsip negara hukum 'Rechtstaat' dan bukan negara kekuasaan 'machtaat'. Idealnya pembubaran suatu ormas harus diperlakukan sama seperti pembubaran partai politik," jelasnya. 

"Karena pembubaran partai politik melalui mekanisme lembaga peradilan, sehingga ormas pun harus sama seperti itu. Sebab pijakan konstitusionalnya sama dengan parpol yaitu sama-sama menggunakan atribut hak berserikat dan berkumpul yang diberikan langsung oleh UUD NRI Tahun 1945," imbuhnya. 

Secara normatif berdasarkan Pasal 59 UU Ormas, Fahri mengatakan ada sejumlah ketentuan yang mengatur syarat sebuah ormas dilarang.

Baca juga: FPI Versi Baru Dibentuk, Ini Pernyataan Menkopolhukam dan Legislator PKS

Dua di antaranya yaitu  melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial dan melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Argumentasi hukum bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dalam hal ini FPI sebagai organisasi yang secara de jure bubar, menurut Fahri tidak tepat dari sisi hukum. 

Sebab Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensinya, organisasi yang tidak memiliki SKT dikategorikan sebagai 'organisasi yang tidak terdaftar', bukan dinyatakan atau dianggap bubar secara hukum.

Apalagi jika hal ini dicermati secara hati-hati dalam putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Desember 2014, khususnya pada pertimbangan hukumnya yang terdapat dalam halaman 125 disebutkan bahwa 'suatu ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi pemerintah yang berwenang untuk itu'.

Sebaliknya, lanjut Fahri, 'berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum'. 

Hal itulah kaidah hukum yang telah ditetapkan oleh MK, sehingga secara 'expressiv verbis' tentunya kaidah ini menjadi 'guidance' bagi semua pihak dalam mengambil berbagai kebijakan negara yang berdampak luas bagi masyarakat. 

Sumber: Tribunnews
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved